Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 10-14 ini, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang musyrik bagaimana pendapat mereka seandainya terbukti bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah. Dengan kenyataan bahwa tidak seorang pun dapat menandinginya.
Perkataan orang-orang musyrik Mekah tentang Al-Qur’an dan orang-orang yang beriman tidak benar. Perkataan itu mereka ucapkan karena beberapa orang yang mereka anggap miskin, bodoh, dan rendah derajatnya seperti ‘Ammar, Suhaib, Ibnu Mas’ud, Bilal, Khabbab, dan lain-lain telah masuk Islam.
Keadaan orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yaitu orang-orang yang mengakui dan mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian ia istikamah, yakni tetap dalam pengakuan itu, tidak dicampuri sedikit pun dengan perbuatan-perbuatan syirik.
Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ahqaf Ayat 10-14
Surah Al-Ahqaf Ayat 10
قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِن كَانَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَكَفَرۡتُم بِهِۦ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنۢ بَنِىٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ مِثۡلِهِۦ فَـَٔامَنَ وَٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Terjemahan: Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Quran itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang tersebut dalam) Al Quran lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
Tafsir Jalalain: قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ (Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku) ceritakanlah kepadaku, bagaimana pendapat kalian إِن كَانَ (jika ia) yakni jika Alquran itu مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَكَفَرۡتُم بِهِۦ (datang dari sisi Allah padahal kalian mengingkarinya) lafal Wakafartum Bihi merupakan jumlah Haliyah وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنۢ بَنِىٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ (dan seorang saksi dari Bani Israel mengakui kebenaran) yaitu Abdullah bin Salam عَلَىٰ مِثۡلِهِۦ (yang serupa dengan yang tersebut dalam Alquran) bahwasanya Alquran itu datang dari sisi Allah فَـَٔامَنَ (lalu dia beriman) yakni saksi tersebut beriman kepada Alquran وَٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ (sedangkan kalian menyombongkan diri) tidak mau beriman kepada Alquran.
Sedangkan Jawab Syaratnya ialah ‘Bukankah kalau demikian kalian adalah orang-orang yang lalim’, hal ini disimpulkan dari pengertian ayat selanjutnya, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ (‘Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”).
Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman: قُلۡ (“katakanlah”) hai Muhammad kepada orang-orang musyrik yang ingkar kepada al-Qur’an. أَرَءَيۡتُمۡ إِن كَانَ (“Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika,”) al-Qur’an itu; مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ وَكَفَرۡتُم بِهِۦ (“Datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya.”) maksudnya, menurut dugaan kalian, apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap kalian jika kitab yang aku bawa kepada kalian ini telah Dia turunkan kepadaku untuk aku sampaikan kepada kalian, sedang kalian kufur terhadapnya, bahkan mendustakannya.
وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنۢ بَنِىٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ مِثۡلِهِۦ (“Dan seorang dari Bani Israil mengakui [kebenaran] yang serupa dengan [yang disebut dalam] al-Qur’an.”) maksudnya, kitab-kitab terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi sebelumku telah memberikan kesaksian terhadap kebenaran dan keshahihan kitab tersebut [al-Qur’an]. Kitab-kitab tersebut telah memberikan kabar gembira tentangnya dan menyampaikan apa yang juga disampaikan oleh al-Qur’an ini.
Firman Allah: فَـَٔامَنَ (“Lalu ia beriman”) yaitu, orang dari bani Irail ini yang memberikan kesaksian terhadap kebenaran al-Qur’an, karena pengetahuan yang dimilikinya tentang hakikat al-Qur’an tersebut. وَٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ (“Sedang kamu menyombongkan diri.”) yakni kalian menolak mengikutinya. Masruq berkata: “Maka orang yang memberi saksi itu beriman kepada Nabi dan Kitab-Nya, sedangkan kalian kafir kepada Nabi dan Kitab kalian.”
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِى ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ (“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.”) pemberi saksi ini menunjukkan jenis, mencakup ‘Abdullah bin Salam dan juga selainnya. Karena ayat ini turun di Makkah, sebelum Abddullah bin Salam masuk Islam. Dan ayat tersebut seperti firman Allah yang artinya:
“Dan apabila dibacakan (al-Qur’an itu) kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami beriman kepadanya, sesungguhnya al-Qur’an itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan[nya].’”) (al-Qashash: 53)
Imam Malik menceritakan dari Abun Nadhr, dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya ia berkata: “Aku tidak mendengar Rasulullah saw. berkata kepada seseorang yang berjalan di muka bumi bahwa ia termasuk penghuni surga kecuali untuk ‘Abdullah bin Salam.” Katanya pula: “Dan berkenaan dengan ini, turunlah ayat:
وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنۢ بَنِىٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ مِثۡلِهِۦ (“Dan seorang dari Bani Israil mengakui [kebenaran] yang serupa dengan [yang disebut dalam] al-Qur’an.”) Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Nasa-i, dari hadits Malik.
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Muhahid, adl-Dlahhak, Qatadah, ‘Ikrimah, Yusuf bin ‘Abdillah bin Salam, Hilal bin Yasaf, as-Suddi, ats-Tsauri, Malik bin Anas, dan Ibnu Zaid. Mereka semua mengatakan: “Orang itu adalah ‘Abdullah bin Salam.”
Tafsir Kemenag: Allah memerintahkan kepada rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang musyrik bagaimana pendapat mereka seandainya terbukti bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah. Dengan kenyataan bahwa tidak seorang pun dapat menandinginya, terbukti bahwa Al-Qur’an itu bukan sihir dan bukan pula diada-adakan, sebagaimana yang mereka tuduhkan.
Namun demikian, mereka tetap mendustakan dan mengingkarinya, sedangkan ada di antara Bani Israil yang lebih tahu dan berpengalaman serta lebih pintar daripada mereka, tetapi tetap mengakui kebenarannya. Apakah yang akan diperbuat Tuhan terhadap mereka? Bukankah Tuhan akan mengazab mereka karena keingkaran dan kesombongan itu. Dia tidak akan memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka semua menjadi orang yang paling sesat di dunia ini.
Yang dimaksud dengan seorang saksi yang berasal dari Bani Israil ialah ‘Abdullah bin Salam, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidhi, Ibnu Jarir, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Abdullah bin Salam sendiri. Ia menyatakan:
“Allah telah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang diriku. Diturunkan tentang diriku ayat : wa syahida syahidun min Bani Israil ‘ala mitslihi, dan ayat: Qul kafa billahi syahidan baini wa bainakum wa man ‘indahu ‘ilmul kitab.” (Riwayat at-Tirmidhi)
Pernyataan ‘Abdullah bin Salam ini dikuatkan oleh hadis Rasulullah saw: Dari Sa’ad bin Abi Waqqas, ia berkata, “Aku belum pernah mendengar Rasulullah saw mengatakan kepada seorang yang ada di muka bumi bahwa ia termasuk ahli surga, kecuali kepada ‘Abdullah bin Salam; dan berhubungan dengan dirinya turun ayat: “Wa syahida syahidun min bani Isra’ila ‘ala mitslihi.” (Riwayat al-Bukhari)
‘Abdullah bin Salam adalah seorang Yahudi penduduk kota Medinah. Ia mempelajari dan memahami dengan baik isi Taurat yang menyebutkan akan datang nanti nabi dan rasul terakhir yang berasal dari Nabi Ibrahim, dan dari jalur Nabi Ismail, di Jazirah Arab, yang membawa Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah kepadanya. Setelah Rasulullah saw hijrah ke Medinah, ‘Abdullah memperhatikan sifat-sifat Rasulullah dan ajaran yang disampaikannya berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepadanya.
Ia mengamati sikap Rasulullah terhadap sesama manusia dan sikap para pengikutnya yang telah mendalami agama baru itu. Akhirnya ia berkesimpulan bahwa Rasulullah dan ajaran agama yang dibawanya itu mempunyai ciri yang sama dengan yang diisyaratkan Taurat yang telah dipelajari dan diamalkannya. Demikian pula sifat-sifat para pengikut agama baru itu. Oleh karena itu, ia menyatakan diri masuk Islam dan menjadi pengikut Rasulullah saw.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang benar-benar mengikuti dan meyakini Taurat dan Injil, pasti akan sampai kepada kesimpulan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah dan Muhammad saw itu benar-benar utusan-Nya sebagaimana yang telah dilakukan oleh ‘Abdullah bin Salam.
Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa orang-orang musyrik sebenarnya adalah orang-orang yang sombong dan mengingkari ayat-ayat Allah. Oleh karena itu, mereka telah menganiaya diri sendiri. Akibat sikap dan tindakan seperti itu, Allah tidak lagi memberikan petunjuk kepada mereka. Hal ini sesuai dengan sunatullah bahwa Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada setiap orang zalim. Mereka mendapat kemurkaan Allah di dunia dan di akhirat.
Tafsir Quraish Shihab: Katakan, “Jelaskanlah kepadaku jika al-Qur’ân itu datang dari sisi Allah lalu kalian ingkari, sedangkan seseorang dari Banû Isrâ’îl bersaksi dan mengakui adanya kitab suci yang diturunkan oleh Allah. Orang itu beriman, tetapi kalian menyombongkan diri. Bukankah, dengan begitu, kalian menjadi orang yang paling sesat dan paling zalim terhadap diri sendiri. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang menzalimi diri sendiri dan menentang kebenaran.
Surah Al-Ahqaf Ayat 11
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرًا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٌ قَدِيمٌ
Terjemahan: Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”.
Tafsir Jalalain: وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ (Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman) sehubungan dengan perihal orang-orang yang beriman, لَوۡ كَانَ (“Kalau sekiranya beriman) kepada Alquran itu خَيۡرًا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ (adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami beriman kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk) yaitu orang-orang yang mengatakan demikian بِهِۦ (dengannya) tidak mendapat petunjuk dari Alquran فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ (maka mereka akan berkata, ‘Ini) Alquran ini إِفۡكٌ (adalah dusta) maksudnya, kebohongan قَدِيمٌ (yang lama.'”).
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرًا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِ (“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: ‘Kalau sekiranya ia [al-Qur’an] adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami [beriman] kepadanya.’”) yakni mereka bicara tentang orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an:
“Seandainya al-Qur’an itu baik, niscaya orang-orang itu tidak akan mendahului kami beriman kepadanya.” Yang mereka maksud adalah Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab, serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah dan perhatian dari-Nya. Padahal mereka telah melakukan kesalahan yang nyata.
Sedangkan ahlus sunnah wal jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Rasulullah saw. adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.
Firman Allah: وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ (“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya.”) yakni dengan al-Qur’an; فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٌ قَدِيمٌ (“Maka mereka akan berkata: Ini adalah dusta yang lama.”) yaitu kebohongan yang sudah lama atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Artinya, mereka merendahkan al-Qur’an dan orang-orang yang berpegang padanya. Demikianlah kesombongan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. : “Tidak menerima kebenaran dan merendahkan orang lain.”
Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa perkataan orang-orang musyrik Mekah tentang Al-Qur’an dan orang-orang yang beriman tidak benar. Perkataan itu mereka ucapkan karena beberapa orang yang mereka anggap miskin, bodoh, dan rendah derajatnya seperti ‘Ammar, Suhaib, Ibnu Mas’ud, Bilal, Khabbab, dan lain-lain telah masuk Islam.
Menurut mereka, sesuatu yang benar dan datang dari Tuhan itu harus diakui kebenarannya oleh para bangsawan, orang kaya, orang terpandang dan para pembesar. Itulah ukuran kebenaran menurut mereka. Apabila kebenaran itu hanya diakui oleh orang-orang yang rendah derajatnya, miskin, dan rakyat jelata saja, maka kebenaran itu palsu.
Perkataan orang-orang musyrik Mekah itu ialah, “Sekiranya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad saw mengandung kebajikan, tentulah kita orang-orang terpandang, bangsawan, dan orang-orang terkemuka ini lebih dahulu beriman kepadanya karena lebih mengetahui dan lebih dahulu mengerjakan kebaikan daripada orang-orang yang rendah derajatnya itu. Sekarang, merekalah yang lebih dahulu beriman daripada kita. Hal ini dapat kita jadikan bukti bahwa Al-Qur’an itu tidak ada nilainya dan tidak mengandung kebajikan sedikit pun.”
Qatadah berkata, “Orang-orang musyrik menyatakan, kami lebih perkasa. Kalau ada suatu kebaikan, tentulah kami yang lebih mengetahuinya. Karena kami yang lebih mengetahui, tentulah kami yang menentukannya. Tidak seorang pun yang dapat mendahului kami dalam hal ini. Sehubungan dengan perkataan mereka itu, turunlah ayat ini.”
Menurut satu riwayat, ketika kabilah-kabilah Juhainah, Muzainah, Aslam, dan Gifar memeluk agama Islam, Banu ‘Amir, Bani Gatafan, dan Banu Asad berkata, “Seandainya agama Islam itu suatu kebenaran, tentulah kita tidak didahului oleh penggembala-penggembala hewan itu.”
Karena orang-orang musyrik itu telah terkunci hati, pendengaran, dan penglihatannya oleh kedengkian dan hawa nafsu, maka mereka tidak dapat lagi mengambil petunjuk Al-Qur’an, dan menuduh bahwa Al-Qur’an itu adalah kabar bohong, dongeng orang dahulu, sihir, diada-adakan oleh Muhammad, dan tidak ada artinya sama sekali. Tuduhan orang-orang musyrik itu diterangkan pula dalam firman Allah:
Dan orang-orang kafir berkata,”(Al-Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh dia (Muhammad), dibantu oleh orang- orang lain,” Sungguh, mereka telah berbuat zalim dan dusta yang besar. Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (al-Furqan/25: 4-5)
Menurut ajaran Islam, beriman dan bertakwanya seseorang tidak berhubungan dengan status orang itu apakah ia kaya atau miskin, bangsawan atau budak, penguasa atau rakyat jelata, dan berilmu atau tidak berilmu.
Setiap orang, apa pun jenis bangsa, warna kulit, dan tingkatannya dalam masyarakat dapat menjadi seorang muslim yang beriman dan bertakwa karena pokok iman dan takwa itu adalah kebersihan hati, keinginan mencari kebenaran yang hakiki, dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Dalam sebuah hadis disebutkan:
Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah. Apabila baik, baik pula seluruh tubuh, dan apabila rusak, rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir).
Tafsir Quraish Shihab: Orang-orang kafir–dengan mengejek dan menyombongkan diri–berkata mengomentari keadaan orang-orang yang beriman, “Kalau sekiranya al-Qur’ân yang dibawa Muhammad itu baik, orang-orang itu tentu tidak akan mendahului kami untuk beriman kepadanya, karena kami adalah orang-orang yang terhormat dan mempunyai akal yang cemerlang.” Dan ketika mereka tidak memperoleh petunjuk al-Qur’ân, mereka mengumpat dan mengatakan, “Ini adalah kebohongan lama dari legenda nenek moyang.”
Surah Al-Ahqaf Ayat 12
وَمِن قَبۡلِهِۦ كِتَٰبُ مُوسَىٰٓ إِمَامًا وَرَحۡمَةً وَهَٰذَا كِتَٰبٌ مُّصَدِّقٌ لِّسَانًا عَرَبِيًّا لِّيُنذِرَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُحۡسِنِينَ
Terjemahan: Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Tafsir Jalalain: وَمِن قَبۡلِهِۦ (Dan sebelumnya) sebelum Alquran كِتَٰبُ مُوسَىٰٓ (telah ada kitab Musa) kitab Taurat إِمَامًا وَرَحۡمَةً (sebagai petunjuk dan rahmat) bagi orang-orang yang beriman kepadanya; lafal Imaaman dan Rahmatan keduanya merupakan Hal. وَهَٰذَا (Dan ini) yaitu Alquran كِتَٰبٌ مُّصَدِّقٌ (adalah Kitab yang membenarkan) kitab-kitab sebelumnya لِّسَانًا عَرَبِيًّا (dalam bahasa Arab) menjadi Hal dari Dhamir yang terkandung di dalam lafal Mushaddiquun لِّيُنذِرَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ (untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim) yakni orang-orang musyrik Mekah وَ (dan) dia adalah بُشۡرَىٰ لِلۡمُحۡسِنِينَ (memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik) yakni orang-orang yang beriman.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَمِن قَبۡلِهِۦ كِتَٰبُ مُوسَىٰٓ (“Dan sebelum al-Qur’an itu telah ada kitab Musa.”) yaitu Taurat; إِمَامًا وَرَحۡمَةً وَهَٰذَا كِتَٰبٌ (“Sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini adalah kitab.”) yakni al-Qur’an. مُّصَدِّقٌ (“Yang membenarkannya.”) ialah kitab-kitab sebelumnya. لِّسَانًا عَرَبِيًّا (“Dalam bahasa Arab”) yakni sangat fasih lagi jelas dan gamblang.
لِّيُنذِرَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُحۡسِنِينَ (“Untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang dhalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”) yakni membawa peringatan bagi orang-orang kafir dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Tafsir Kemenag: Ayat ini menolak tuduhan orang-orang musyrik terhadap Al-Qur’an dan membuktikan kebenarannya dengan mengatakan, “Hai orang-orang kafir, kamu semua telah menyaksikan bahwa Allah telah menurunkan Taurat yang mengandung pokok-pokok agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan sebagai rahmat bagi Bani Israil.
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa mengisyaratkan kedatangan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir yang membawa Al-Qur’an yang berbahasa Arab, membenarkan kitab-kitab terdahulu yang diturunkan Allah agar dengan kitab itu ia memperingatkan semua manusia, memberi kabar gembira kepada orang-orang yang mengamalkan isinya, dan memperingatkan bahwa azab serta ancaman Allah akan menimpa orang-orang yang ingkar kepadanya.”
Sekalipun kitab Taurat yang ada sekarang telah banyak dinodai oleh tangan manusia, masih banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir yang paling sempurna. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Kejadian 13: 2, 3 ; 15; 16: 10, 12 dan masih banyak lagi. Dalam kitab Kejadian 21: 13, diterangkan kedatangan nabi yang paling besar dari keturunan Nabi Ismail, “Maka anak sahayamu itu pun akan aku jadikan suatu bangsa karena ia pun dari benihmu.”
Demikian juga dalam Kejadian 21: 13, “Bangunlah engkau, angkatlah budak itu, sokonglah dia karena aku hendak menjadikan dia suatu bangsa yang besar.”
Juga dalam kitab Kejadian 17: 20, “Maka akan hal Ismail itupun telah kululuskan permintaanmu: bahwa sesungguhnya Aku telah memberkati akan dia dan membiarkan dia dan memperbanyak dia amat sangat dan dua belas orang raja akan berpencar daripadanya dan Aku akan menjadikan dia satu bangsa yang besar.”
Sudah tentu yang dimaksud ayat-ayat Taurat di atas adalah Nabi Muhammad. Nabi Musa dalam kitab Ulangan 18: 17-22 juga telah menyatakan kedatangan Nabi Muhammad saw:
Maka pada masa itu berfirmanlah Tuhan kepadaku (Musa). Benarlah kata mereka itu (Bani Israil). Bahwa Aku (Allah) akan menjadikan bagi mereka itu seorang Nabi dari antara segala saudaranya (yaitu dari Bani Ismail) yang seperti engkau (hai Musa), dan aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya dan dia akan mengatakan kepadanya segala yang Kusuruh akan dia.
Bahwa sesungguhnya barang siapa yang tiada mau mendengar akan segala firman-Ku yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku, niscaya Aku menurut orang itu kelak.
Tetapi yang melakukan dirinya dengan sombong dan mengatakan firman dengan nama-Ku, yang tiada Kusuruh katakan, atau yang berkata dengan nama dewa-dewa. Nabi itu akan mati dibunuh hukumnya.
Maka jikalau kamu kira berkata dalam hatimu demikian: Dengan apakah boleh kami ketahui akan perkataan itu bukannya firman Tuhan adanya.
Bahwa jikalau Nabi itu berkata demi nama Tuhan lalu orang dikatakannya tiada jadi atau tiada datang, yaitulah perkataan yang bukan firman Tuhan adanya, maka Nabi itu pun telah berkata dengan sombongnya, janganlah kamu takut akan dia.
Dalam ayat-ayat Taurat yang enam di atas terdapat beberapa isyarat yang dapat dijadikan dalil untuk menyatakan nubuat tentang Nabi Muhammad. Dari perkataan “seorang nabi dari antara segala saudaranya” menunjukkan bahwa orang yang dinubuatkan oleh Tuhan itu akan datang dari saudara-saudara Bani Israil, bukan dari Bani Israil sendiri.
Adapun saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail (bangsa Arab) sebab Ismail adalah saudara tua dari Ishak, bapak dari Israil (Yakub). Dan Nabi Muhammad saw jelas berasal dari keturunan Ismail.
Kemudian kalimat “Yang seperti engkau” memberi pengertian bahwa nabi yang akan datang itu haruslah yang seperti Nabi Musa, maksudnya, nabi yang membawa agama baru seperti Musa. Seperti diketahui, Nabi Muhammad itulah yang membawa syariat baru (agama Islam) yang juga berlaku untuk Bani Israil.
Lalu diterangkan lagi bahwa Nabi itu tidak sombong dan tidak akan mati dibunuh. Muhammad saw, seperti dimaklumi, bukanlah orang yang sombong, baik sebelum menjadi nabi maupun setelah menjadi nabi. Sebelum menjadi nabi beliau sudah disenangi masyarakatnya terbukti dengan gelar al-Amin artinya “orang terpercaya”. Kalau beliau sombong, tentulah beliau tidak akan diberi gelar yang amat terpuji itu. Sesudah menjadi nabi, beliau justru lebih ramah.
Umat Nasrani mengakui nubuat itu kepada Nabi Isa di samping mereka mengakui pula bahwa Isa mati terbunuh. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat nubuat itu sendiri, sebab nabi yang dimaksud itu haruslah tidak mati terbunuh (tersalib atau sebab lain).
Itulah penegasan-penegasan yang diberikan para nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Semuanya diketahui oleh orang-orang kafir Mekah yang mengingkari kenabian Muhammad saw.
Tafsir Quraish Shihab: Sebelum al-Qur’ân, Allah telah menurunkan Tawrât sebagai teladan dan rahmat bagi orang-orang yang mengamalkannya. Al-Qur’ân yang telah mereka dustakan itu membenarkan kitab suci-kitab suci sebelumnya.
Kitab suci al-Qur’ân itu diturunkan dengan bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beristikamah menjalankan kebaikan.
Surah Al-Ahqaf Ayat 13
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Terjemahan: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Tafsir Jalalain: إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ (Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami ialah Allah,” kemudian mereka beristiqamah) atau menetapi ketaatan فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ (maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita.).
Tafsir Ibnu Katsir: إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ (“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Rabb kami adalah Allah,’ kemudian mereka tetap istiqamah.”) telah diterangkan dalam surat as-Sajdah. فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ (“Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka.”) yakni dalam peristiwa yang akan mereka hadapi. وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ (“dan mereka tidak pula berduka cita.”) atas apa yang mereka tinggalkan.
Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan keadaan orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yaitu orang-orang yang mengakui dan mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian ia istikamah, yakni tetap dalam pengakuan itu, tidak dicampuri sedikit pun dengan perbuatan-perbuatan syirik.
Orang tersebut konsisten mengikuti garis yang telah ditentukan agama, mengikuti perintah Allah dengan sebenar-benarnya, dan menjauhi larangan-Nya. Maka orang yang semacam itu tidak ada suatu kekhawatiran dalam diri mereka di hari Kiamat, karena Allah menjamin keselamatan mereka.
Mereka tidak perlu bersedih terhadap apa yang mereka tinggalkan di dunia setelah wafat, begitu juga terhadap sesuatu yang luput dan hilang dari mereka selama hidup di dunia itu serta tidak ada penyesalan sedikit pun pada diri mereka.
Tafsir Quraish Shihab: Orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami hanyalah Allah,” lalu melakukan kebaikan, sama sekali tidak akan pernah mengkhawatirkan turunnya sesuatu yang tidak mereka sukai. Mereka juga tidak akan bersedih karena tidak memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Surah Al-Ahqaf Ayat 14
أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَآءًۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Terjemahan: Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Tafsir Jalalain: أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا (Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya) lafal Khaalidiina Fiihaa menjadi Hal atau kata keterangan keadaan جَزَآءًۢ (sebagai balasan) menjadi Mashdar yang dinashabkan oleh Fi’ilnya yang diperkirakan keberadaannya, yaitu lafal Yujzauna; artinya: mereka diberi pahala sebagai balasan بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (atas apa yang telah mereka kerjakan.).
Tafsir Ibnu Katsir: أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَآءًۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”) yakni amal perbuatan merupakan sebab tercapainya rahmat dan kesempurnaannya bagi mereka. wallaaHu a’lam.
Tafsir Kemenag: Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah kemudian istikamah dalam keimanannya dengan melaksanakan ibadah dan perintah-perintah Allah, tetap bertawakal, dan menghindari larangan-larangan-Nya, akan memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat, yaitu menjadi penghuni surga dan kekal di dalamnya. Bagi mereka disediakan berbagai kenikmatan di surga, sebagai balasan atas amal saleh mereka di dunia.
Sikap istikamah setelah beriman dan melaksanakan ibadah kepada Allah merupakan hal yang penting dan sangat terpuji, sebagaimana hadis Nabi saw yang memerintahkan kepada kita semua: Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah,” lalu beristikamahlah. (Riwayat Muslim dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-saqafi).
Tafsir Quraish Shihab: Orang-orang yang mengesakan Allah dan beristikamah dalam melakukan kebaikan itu adalah orang-orang yang akan masuk surga dan kekal di dalamnya. Itulah balasan yang diberikan Allah kepada mereka atas kebaikan yang mereka lakukan.
Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 10-14 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020