Pecihitam.org – Kandungan Surah Az-Zukhruf Ayat 51-56 ini, menceritakan Fir’aun semakin menunjukkan kesombongannya dan kesewenang-wenangannya. Ia bertanya kepada kaumnya, bertanya untuk menegaskan, bukankah kerajaan Mesir yang besar itu milik dia bukan milik orang lain.
Ia menghina Nabi Musa. Ia bertanya kepada kaumnya, sekali lagi untuk menegaskan, bukankah yang terbaik adalah dia, sedangkan Nabi Musa adalah seorang yang hina karena ia tidak memiliki apa-apa, seperti kekuasaan, jabatan, dan kekayaan seperti yang ia miliki. Dan bukankah Nabi Musa itu begitu hinanya mengingat untuk menjelaskan sesuatu dengan kata-kata saja ia tidak mampu.
Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Az-Zukhruf Ayat 51-56
Surah Az-Zukhruf Ayat 51
وَنَادَىٰ فِرۡعَوۡنُ فِى قَوۡمِهِۦ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِى مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِى مِن تَحۡتِىٓ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ
Terjemahan: Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?
Tafsir Jalalain: وَنَادَىٰ فِرۡعَوۡنُ (Dan Firaun berseru) dengan nada penuh kesombongan فِى قَوۡمِهِۦ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِى مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ (kepada kaumnya seraya berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan sungai-sungai ini) yaitu sungai Nil dan anak-anaknya تَجۡرِى مِن تَحۡتِىٓ (mengalir di bawahku) di bawah keraton-keratonku, adalah kepunyaanku juga أَفَلَا تُبۡصِرُونَ (maka apakah kalian tidak melihat) keagungan dan kebesaranku?.
Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman tentang Fir’aun, keengganannya, berpalingnya dia, kekufurannya dan pembangkangannya, bahwa dia menghimpun kaumnya, lalu menyeru mereka untuk selalu bangga dan hormat dengan kerajaan Mesir dan kelakuannya kepadanya.
أَلَيۡسَ لِى مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِى مِن تَحۡتِىٓ (“dan Fir’aun berseru kepada kaumnya [seraya] berkata: ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan [bukankah] sungai-sungai ini mengalir di bawahku?’”) Qatadah berkata: “Mereka telah memiliki kebun-kebun dan air-air sungai.”
أَفَلَا تُبۡصِرُونَ (“Maka apakah kamu tidak melihatnya?”) yaitu apakah kalian tidak melihat kebesaran dan kerajaan yang aku miliki. Yang dia maksud adalah Musa dan para pengikutnya dari kaum fuqara’ dan dlu’afa’.
Tafsir Kemenag: Fir’aun semakin menunjukkan kesombongannya dan kesewenang-wenangannya. Ia bertanya kepada kaumnya, bertanya untuk menegaskan, bukankah kerajaan Mesir yang besar itu milik dia bukan milik orang lain. Bukankah sungai-sungai sebagai sumber kehidupan di negeri itu mengalir di bawah istananya dan di dalam kebun-kebunnya.
Pertanyaan itu untuk menunjukan kesombongannya. Dengan ucapan itu ia hendak menyatakan bahwa dialah penguasa besar dan satu-satunya di negeri itu, yang tidak mungkin dilawan dan dikalahkan. Oleh karena itu ia tidak akan beriman dan dan tidak akan tunduk kepada Nabi Musa. Ucapannya itu sekaligus mengandung ancaman kepada siapa saja yang mengikuti Nabi Musa bahwa mereka akan memperoleh nasib yang tidak menguntungkan.
Tafsir Quraish Shihab: Dan Fir’aun pun berseru di hadapan pengikut-pengikutnya sambil mendeklarasikan kekuatan dan kekuasaanya, “Bukankah negeri Mesir ini milikku, bukan milik yang lain? Bukankah sungai-sungai yang kalian saksikan ini mengalir dari bawah istanaku? Apakah kalian buta, sehingga tidak dapat melihat kekuatanku dan kelemahan Mûsâ?” Dengan seruan itu, Fir’aun bermaksud ingin menanamkan pengaruh pada diri mereka supaya patuh kepadanya.
Surah Az-Zukhruf Ayat 52
أَمۡ أَنَا۠ خَيۡرٌ مِّنۡ هَٰذَا ٱلَّذِى هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ
Terjemahan: Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?
Tafsir Jalalain: أَمۡ (Bukankah) kalian telah melihat sesudah kesemuanya itu أَنَا۠ خَيۡرٌ مِّنۡ هَٰذَا (aku lebih baik dari orang ini) dari Nabi Musa ٱلَّذِى هُوَ مَهِينٌ (yang dia adalah orang hina) lemah lagi hina وَلَا يَكَادُ يُبِينُ (dan yang hampir tidak dapat berbicara dengan jelas) tidak dapat menjelaskan perkataannya, karena sewaktu kecil ia pernah memakan bara api, hingga lisannya pelan atau tidak fasih.
Tafsir Ibnu Katsir: أَمۡ أَنَا۠ خَيۡرٌ مِّنۡ هَٰذَا ٱلَّذِى هُوَ مَهِينٌ (“Bukankah aku lebih baik daripada orang yang hina ini?”) as-Suddi berkata: “Dia berkata: ‘Bahkan aku lebih baik daripada orang yang hina ini.’” Demikian pula sebagian ahli Nahwu Bashrah berkata:
“Sesungguhnya am disini bermakna bal [bahkan]. Yang dimaksud adalah, bahwa Fir’aun –semoga laknat Allah baginya- lebih baik dari Musa as. Sungguh dia telah berdusta dalam perkataannya ini dengan kedustaan yang amat jelas dan tegas. Maka laknat Allah yang terus-menerus akan menimpanya hingga hari kiamat.
Yang dimaksud dengan perkataannya maHiinun sebagaimana yang dikatakan Sufyan, yaitu orang yang hina. Sedangkan Qatadah dan as-Suddi berkata: “Yaitu orang yang lemah.”
وَلَا يَكَادُ يُبِينُ (“Dan yang hampir tidak dapat menjelaskan [perkataannya].”) yaitu, dan yang hampir tidak dapat fashih dalam perkataannya, karena ia cadel.
As-Suddi berkata: وَلَا يَكَادُ يُبِينُ (“Dan yang hampir tidak dapat menjelaskan [perkataannya].”) yaitu hampir tidak memahami.” Qatadah, as-Suddi dan Ibnu Jarir berkata: “Yaitu cadel pada lisan.” Sedangkan Sufyan berkata:
“Pada lisannya ada sedikit sesuatu akibat bara api yang diletakkan di mulutnya ketika kecil. Apa yang dikatakan oleh Fir’aun –semoga laknat Allah baginya- adalah kebohongan dan mengada-ada. Sedangkan Musa as. sendiri amat agung, terhormat dan indah dalam pandangan orang-orang yang berakal.”
Perkataannya, مَهِينٌ (“Orang yang hina ini”) adalah kedustaan, akan tetapi dialah sebenarnya yang hina, baik bentuk, akhlak dan juga agamanya. Sedangkan Musa adalah orang yang mulia, pemimpin yang jujur, amat berbakti dan pandai.
وَلَا يَكَادُ يُبِينُ (“dan yang hampir tidak dapat menjelaskan [perkataannya].”) adalah mengada-ada pula. Karena di saat kecilnya, lisannya terkena sesuatu dari bara api. Sehingga ia minta kepada Allah untuk melepaskan ikatan lisannya agar mereka dapat memahami perkataannya, lalu Allah memperkenankan doanya tersebut dalam firman-Nya: قَالَ قَدۡ أُوتِيتَ سُؤۡلَكَ يَٰمُوسَىٰ (“Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.”)(ThaaHaa: 36) Kemungkinan masih ada sesuatu yang belum diminta untuk dihilangkannya. Sebagaimana al-Hasan al-Bashri berkata:
“Dia hanya meminta hilangnya hal yang mengganggunya sampainya berita dan pemahaman. Padahal bentuk-bentuk yang bukan merupakan perbuatan seorang hamba bukanlah sesuatu yang tercela dan hina. Sedangkan Fir’aun, walaupun dia memahami dan memiliki akal, akan tetapi dia tidak mengerti hal tersebut. Yang dia kehendaki hanyalah menggiring rakyatnya, karena mereka adalah orang-orang bodoh dan hina.”
Tafsir Kemenag: Fir’aun semakin menunjukkan kecongkakannya. Ia menghina Nabi Musa. Ia bertanya kepada kaumnya, sekali lagi untuk menegaskan, bukankah yang terbaik adalah dia, sedangkan Nabi Musa adalah seorang yang hina karena ia tidak memiliki apa-apa, seperti kekuasaan, jabatan, dan kekayaan seperti yang ia miliki.
Dan bukankah Nabi Musa itu begitu hinanya mengingat untuk menjelaskan sesuatu dengan kata-kata saja ia tidak mampu. Yang dimaksudkannya adalah ketidakmampuan Nabi Musa berbicara secara jelas karena lidahnya kelu sebagaimana diakuinya dalam doanya kepada Allah agar memperkuatnya dengan mengutus saudaranya, Nabi Harun. Allah berfirman:
Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku. (al-Qasas/28: 34)
Tujuan Fir’aun bertanya kepada kaumnya dengan menyampaikan kekurangan-kekurangan Nabi Musa bukanlah untuk bertanya tetapi untuk tujuan menghina beliau. Ia berharap dengan mengemukakan kekurangan Nabi Musa, rakyatnya memiliki pandangan yang tidak baik kepadanya dan tidak mempercayainya.
Tafsir Quraish Shihab: Lebih dari itu, Fir’aun bahkan berkata, “Aku bahkan lebih baik dari orang yang lemah dan hina-dina yang hampir saja tidak mampu menjelaskan dakwanya dengan bahasa yang fasih.”
Surah Az-Zukhruf Ayat 53
فَلَوۡلَآ أُلۡقِىَ عَلَيۡهِ أَسۡوِرَةٌ مِّن ذَهَبٍ أَوۡ جَآءَ مَعَهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ مُقۡتَرِنِينَ
Terjemahan: Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?”
Tafsir Jalalain: فَلَوۡلَآ (Mengapa tidak) kenapa tidak dipakaikan kepadanya jika memang ia orang yang benar di dalam pengakuannya أَسۡوِرَةٌ مِّن ذَهَبٍ (gelang dari emas) lafal Asawirah adalah bentuk jamak dari lafal Aswiratun yang wazannya sama dengan lafal Aghribatun, dan lafal Aswiratun ini merupakan bentuk jamak pula dari lafal Siwarun. Maksud Firaun, mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas sebagaimana kebiasaan orang-orang yang diberi kekuasaan olehnya, yaitu orang tersebut diberi pakaian kebesaran yang terbuat dari emas dan pula dipakaikan kepadanya gelang emas sebagai tanda kedudukannya أَوۡ جَآءَ مَعَهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ مُقۡتَرِنِينَ (atau malaikat datang bersama-sama dia mengiringkannya”) datang berturut-turut kepadanya seraya menyatakan kebenaran kerasulannya.
Tafsir Ibnu Katsir: Demikian pula perkataannya: فَلَوۡلَآ أُلۡقِىَ عَلَيۡهِ أَسۡوِرَةٌ مِّن ذَهَبٍ (“Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas.”) yaitu perhiasan yang dipakai di tangan, itulah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan ulama lainnya.
أَوۡ جَآءَ مَعَهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ مُقۡتَرِنِينَ (“Atau malaikat datang bersama-sama dengannya untuk mengiringkannya.”) yaitu mengiringinya agar mengabdi dan menyaksikan kebenarannya. Dia hanya memandang kepada bentuk dhahir dan tidak memahami rahasia hakiki yang lebih jelas dari apa yang ia lihat itu, seandainya dia memahami.
Tafsir Kemenag: Fir’aun memberikan alasan mengapa Nabi Musa tidak pantas memperoleh kemuliaan dan tidak layak diimani sebagai rasul, karena ia tidak memiliki gelang-gelang emas sebagai tanda ia kaya, dan tidak didampingi malaikat-malaikat sebagai tanda ia seorang rasul.
Dengan demikian Fir’aun membuat tolok ukur kemuliaan itu adalah dengan kekayaan, dan tolok ukur kebenaran pada hal-hal yang kasat mata. Allah tidak meletakkan tolok ukur kemuliaan itu pada materi tetapi pada ketakwaan, sebagaimana firman Allah:
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (al-hujurat/49: 13)
Allah tidak meletakkan tolok ukur kebenaran sebagai seorang rasul itu pada sesuatu yang dapat diindera, namun pada kebenaran jalan yang ditempuhnya, yaitu pada kebenaran wahyu yang diperolehnya dari Allah. Allah berfirman:
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahf/18: 110)
Perlakuan yang tidak layak juga dialami Nabi Muhammad saw bahkan lebih hebat lagi. Kaumnya tidak mempercayainya sebagai seorang rasul karena ia tidak memiliki apa-apa. Mereka memintanya, di samping menjadi orang kaya, juga dapat menciptakan peristiwa-peristiwa yang luar biasa sampai-sampai mereka ingin melihat Allah dan malaikat secara kasat mata.
Permintaan itu tentu tidak mungkin ia penuhi karena sudah di luar kuasanya dan mustahil dipenuhi. Beliau hanya menjawab, “Mahasuci Tuhanku, dan saya hanya seorang manusia yang menjadi rasul.”
Katakanlah (Muhammad), “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (al-Isra’/17: 93).
Tafsir Quraish Shihab: Fir’aun berkata pula, seraya mengajak pengikutnya untuk mendustakan Mûsâ, “Mengapa Tuhan Mûsâ tidak menyematkan gelang emas kepadanya untuk dapat mengendalikan segala persoalan? Atau, mengapa Tuhannya tidak menurunkan bantuan kepadanya berupa malaikat yang menguatkan dakwaannya bahwa ia benar-benar membawa misi kerasulan?”
Surah Az-Zukhruf Ayat 54
فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُۥ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمًا فَٰسِقِينَ
Terjemahan: Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.
Tafsir Jalalain: فَٱسۡتَخَفَّ (Maka Firaun mempengaruhi) berupaya menanamkan pengaruhnya kepada قَوۡمَهُۥ فَأَطَاعُوهُ (kaumnya, lalu mereka patuh kepadanya) mematuhi apa yang dikehendaki oleh Firaun, yaitu mendustakan Musa إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمًا فَٰسِقِينَ (karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.).
Tafsir Ibnu Katsir: Untuk itu Allah berfirman: فَٱسۡتَخَفَّ قَوۡمَهُۥ فَأَطَاعُوهُ (“Maka, Fir’aun mempengaruhi kaumnya [dengan perkataan itu], lalu ia patuh kepadanya.”) yaitu dia mempengaruhi akal mereka, lalu menyeru mereka kepada kesesatan, dan mereka pun memperkenankannya. إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَوۡمًا فَٰسِقِينَ (“Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”)
Tafsir Kemenag: Upaya Fir’aun mempengaruhi dan mengelabui rakyatnya berhasil. Rakyat Mesir patuh kepadanya dan tidak mau beriman kepada Nabi Musa bahkan membencinya. Mereka digolongkan oleh Allah sebagai orang-orang fasik, yaitu orang-orang yang benar-benar telah melanggar ajaran-ajaran agama dan keluar dari kebenaran.
Tafsir Quraish Shihab: Dengan ucapannya itu, Fir’aun telah memprovokasi dan mempengaruhi pengikut-pengikutnya, sehingga mereka ikut terbawa dalam kesesatan. Sungguh mereka benar-benar kaum yang keluar dari agama Allah yang lurus.
Surah Az-Zukhruf Ayat 55
فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَٰهُمۡ أَجۡمَعِينَ
Terjemahan: Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut),
Tafsir Jalalain: فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا (Maka tatkala mereka membuat Kami murka) ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَٰهُمۡ أَجۡمَعِينَ (Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut.).
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَٰهُمۡ أَجۡمَعِينَ (“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya [di laut].”) ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “Aasafuunaa artinya, mereka membuat kami murka.” Adl-Dlahhak berkata dari beliau:
“Yaitu mereka membuat kami marah.” Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, Qatadah, as-Suddi dan ahli tafsir lainnya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika engkau melihat Allah Tabaaraka wa Ta’ala memberikan apa saja yang dikehendaki-Nya kepada seorang hamba, sedangkan orang itu sendiri berada dalam maksiat kepada-Nya, maka hal itu adalah istidraj [penguluran/tipuan] dari-Nya.” Kemudian beliau membaca ayat:
فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَٰهُمۡ أَجۡمَعِينَ (“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya [di laut].”)
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: “Aku mendapati bencana [itu] bersama kelalaian.” Yang dimaksud adalah firman Allah: فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَٰهُمۡ أَجۡمَعِينَ (“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya [di laut].”)
Tafsir Kemenag: Kefasikan Fir’aun dan kaumnya semakin menjadi-jadi. Mereka semakin lupa daratan bahkan memandang Fir’aun adalah tuhan. Tindakan itu sudah sampai ke puncaknya, yang tidak mungkin lagi dimaafkan oleh Allah dan sangat disesalkan.
Allah pun menjatuhkan hukuman-Nya, ketika Fir’aun dan balatentaranya mengejar Nabi Musa dan kaumnya sampai ke Laut Merah, Allah menenggelamkannya di laut itu. Dengan demikian ia tewas karena kesombongannya memiliki kekayaan dan kekuasaan, dan kebenaran pun terungkap walaupun diusung hanya oleh seorang manusia biasa yang tidak punya kekuasaan apa-apa.
Penundaan hukuman terhadap orang yang jahat itu disebut istidraj, yaitu pelaku perbuatan dosa dibiarkan melakukan kejahatan sehingga dosanya meningkat terus sampai ke puncaknya, bila pelakunya tidak mempan lagi dinasehati. Bila dosa-dosa itu sudah sampai di puncaknya, maka Allah tidak mungkin memaafkannya lagi, lalu Ia akan menjatuhkan hukuman-Nya. Nabi bersabda dalam sebuah riwayat Ahmad, at-Tirmidhi, ath-thabrani dan al-Baihaqi:
‘Uqbah bin ‘Amir meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba kenikmatan duniawi yang ia inginkan dari dunia sedangkan ia selalu bermaksiatm maka sesungguhnya hal tersebut merupakan istidraj.”
Kemudian Nabi saw membaca ayat, “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (Riwayat Ahmad, at-Tirmidhi, ath-thabrani dan al-Baihaqi).
Tafsir Quraish Shihab: Ketika mereka membuat Kami sangat murka karena telah melampaui batas kerusakan, Kami pun memberikan balasan dengan cara menenggelamkan mereka semua.
Surah Az-Zukhruf Ayat 56
فَجَعَلۡنَٰهُمۡ سَلَفًا وَمَثَلًا لِّلۡءَاخِرِينَ
Terjemahan: dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.
Tafsir Jalalain: فَجَعَلۡنَٰهُمۡ سَلَفًا (Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran) lafal Salafan merupakan bentuk jamak dari lafal salifun, wazannya sama dengan lafal Khadimun atau pelayan, yang jamaknya adalah Khadamun; yakni orang-orang terdahulu yang dijadikan sebagai pelajaran وَمَثَلًا لِّلۡءَاخِرِينَ (dan contoh bagi orang-orang yang kemudian) sesudah mereka, di mana orang-orang yang sesudah mereka itu dapat mengambil contoh dari keadaan mereka, karena itu mereka tidak berani melakukan hal-hal serupa.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: فَجَعَلۡنَٰهُمۡ سَلَفًا وَمَثَلًا لِّلۡءَاخِرِينَ (“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”) Abu Mijlaz berkata: “Salafan; yaitu perumpamaan bagi orang yang beramal seperti amal mereka.” Sedangkan dia dan Mujahid berkata: “وَمَثَلًا; yaitu pelajaran bagi orang-orang sesudah mereka.”
Tafsir Kemenag: Kasus Fir’aun itu merupakan contoh yang patut dijadikan pelajaran oleh generasi-generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Pelajarannya adalah agar siapa pun tidak meniru tingkah laku Fir’aun yang congkak dan durhaka. Dan bahwa siapa pun yang congkak dan durhaka akan mengalami nasib yang sama seperti Fir’aun itu.
Tafsir Quraish Shihab: Fir’aun dan pengikutnya Kami jadikan sebagai pelajaran bagi orang-orang kafir setelahnya dalam menerima siksaan yang serupa dengan mereka. Selain itu, mereka juga Kami jadikan sebagai bahan pembicaraan luar biasa yang dapat menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia.
Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Az-Zukhruf Ayat 51-56 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020