Maksud dari “Melaksanakan Perintah Allah dan Menjauhi Larangan-Nya” dalam Definisi Takwa

Maksud dari "Melaksanakan Perintah Allah dan Menjauhi Larangan-Nya" dalam Definisi Takwa

Pecihitam.org- Kata takwa sudah tidak asing lagi di telinga kita. Jika diartikan dari segi bahasa, kata takwa memiliki arti “memelihara” atau “menghindari.”

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam ranah keagamaan, “pemeliharaan” tersebut berhubungan dengan “diri atau keluarga,” sedangkan “penghindaran”-nya berhubungan dengan siksa Tuhan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Setiap kita mendengarkan khutbah jum’at, sang khotib seringkali mendefisinikan takwa sebagai “melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”

Namun, pengertian ini jarang dijabarkan secara mendetail sehingga menimbulkan kedangkalan pemahaman dan kegersangan penghayatan agama.

Jika kita membuka Al-Qur’an, kita pasti menemukan beragam gaya bahasa yang digunakan maksud itu dan beragam pula makhluk yang diperintah dan masalah yang diperintahkan-Nya. Ada perintah yang ditujukan kepada manusia, dan ada pula yang ditujukan kepada binatang dan alam raya.

Ada perintah-Nya yang berkaitan dengan syariat (agama) dan ada pula yang berkaitan dengan hukum-hukum alam dan hukum-hukum kemasyarakatan (sunnatullah). Semua ini termasuk dalam jangkauan makna perintah Allah yang dikemukakan di atas.

Bagi manusia yang taat menjalankan perintah-Nya, pasti akan memperoleh ganjaran, demikian juga sebaliknya. Allah itu Maha adil, di hadapan Allah, semua manusia sama sebab Allah tidak memilih tapi memilah.

Baca Juga:  Pahami Tawassul dan Hukumnya Agar Tidak Mudah Mensyirikkan Orang Lain, Ini Penjelasannya!

Allah tidak lalai maupun tidur, hanya seringkali menunda dan mengulur apa yang menjadi hajat kita. Sebab Allah tau apa dan kapan doa kita akan dikabulkan.

Jadi kita jangan mengira bahwa Allah itu lupa atau bahkan tidur, kita hanya cukup berusaha dan dibarengi dengan doa, selanjutnya kita hanya bisa tawakal kepada Allah.

Setiap perbuatan kita yang dilakukan dibumi ini pasti ada konsekuensinya, artinya barang siapa yang giat bekerja, belajar, akan kaya dan sukses dan itulah ganjaran-Nya. Dan barang siapa yang tidak berusaha, atau menganggur tidak bekerja, pastilah ia menderita dan itulah siksa-Nya.

Bukankah hukum-hukum alam dan kemasyarakatan adalah ciptaan dan ketentuan Allah juga, dan penderitaan yang dialami akibat melanggarnya adalah ketetapan-Nya juga yang diberlakukan tanpa pilih kasih serta berdasarkan hukum-hukum itu?

Jika demikian, mengapa ragu menyatakan bahwa kemiskinan dan penyakit serta keterbelakangan akibat pelanggaran adalah siksa-Nya di dunia ini? Tak perlu ragu selama kita menyadari firman-Nya ini:

Baca Juga:  Memahami Konsep Milkul Yamin Dalam Islam Bagian 1

وَمَا ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَٰكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya: “Allah tidak menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.” (QS Ali Imran: 117).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujarat ayat 13).

Setelah hal-hal yang diuraikan di atas sudah jelas, kita harusnya sudah tidak mempertanyakan masalah, misalnya: “Mengapa non-Muslim rata-rata orangnya sukses, sedangkan mereka tidak melaksanakan shalat dan tidak juga puasa?” “Mengapa rizki tak kunjung datang walaupun kita sudah melakukan tahajjud dan i’tikaf?.” Kita juga harus yakin akan siksa Tuhan terhadap mereka yang melanggar syariat-Nya, sebab tidak di sini tempatnya mereka disiksa.

Baca Juga:  Apa Perbedaan Salaf, Salafi dan Salafiyah? Ini Penjelasannya

Akhirnya, kita harus sadar bahwa kita baru mengamalkan setengah dari takwa kita, sementara setengah takwa lainnya dilaksanakan dengan baik oleh umat yang lain.

Rupanya, tidak sedikit di antara kita yang bukan saja tidak menghayati, tetapi mengerti pun belum, mengenai makna bertakwa, kendati perintah ini wajib diperdengarkan, sedikitnya setiap hari Jumat.

Mochamad Ari Irawan