Siapakah Golongan Salaf yang sebenarnya ? Ini kata al Quran

Siapakah Golongan Salaf yang Sebenarnya? Ini kata al Quran

PeciHitam.org – Bahasa dan identifikasi golongan di era modern sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di seluruh dunia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Banyak golongan yang mengidentifikasikan bahasa tertentu dengan golongan mereka sendiri dan mendistorsi bahasa sebagai bahasa ‘Klan Ekslusif’.

Sebagaimana fenomena hijrah yang belakangan ramai di Nusantara, yang dipopulerkan oleh golongan salafi wahabi.

Bahkan golongan yang mengklaim diri sebagai gerakan pemurnian Islam ‘membajak’ nama SALAFI menjadi ‘merk’ dagang mereka.

Fakta sejarah dan perjalanan gerakan mereka bisa dirunut sebagai bahan pembelajaran serta pembanding untuk memberikan penyadaran kepada pembelajar Islam agar tidak terkecoh dengan ‘label’.

Istilah Salaf

Kata Salaf secara bahasa bermakna yang telah lalu, atau masa yang sudah lampau dari masa sekarang, bisa juga dimaknai orang terdahulu.

Kata ini sangat lazim dikenal di Nusantara sebagai sebuah nama untuk pesantren-pesantren yang didirikan oleh para Ulama masa lampau.

Biasanya pesantren Tradisional akan menggunakan Istilah Salafiyyah yang memang bermakna Pesantren Masa Lalu atau Pesantren dengan Metodologi Pembelajaran Tradisional.

Berdirinya Pesantren Salafiyah memang benar-benar menjadi lembaga pendidikan yang menggunakan metodologi pembelajaran tradisional karena keterbatasan yang ada.

Istilah Salaf sebenarnya berasal dari Al-Qur’an surah az-Zuhruf yang  menampilkan bentuk kata dasar dari salaf, dengan redaksi;

Baca Juga:  Keajaiban Mahallul Qiyam, Rasakan Hadirnya Nabi Saat Pembacaan Maulid

فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ  -٥٥ -فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ  -٥٦

Artinya; “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian” (Qs. Az-Zuhruf: 55-56)

Dalam terjemahan Kementerian Agama, umumnya kata ‘سَلَفًا’ dimaknai sebagai ‘pelajaran’ yang mana berasal dari nalar bahwa orang Terdahulu harus diambil hikmah pelajarannya.

Dengan menjadikan ‘orang Salaf’ sebagai ‘pelajaran’ harusnya orang sesudahnya mendapatkan keselamatan.

Namun di era modern, makna Salaf atau yang beririsan dengan kata tersebut banyak mengalami pergeseran makna sebagai identitas untuk kelompok tertentu.

Sebagaimana dipahami bahwa klaim terhadap istilah tertentu sekarang marak dijumpai sebagai legitimasi gerakan kelompoknya.

Meminjam Istilah Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi, di era sekarang banyak terjadi Hijecking atau Pembajakan makna. Sebagaimana pola pembajakan, maka gerbong yang sudah dibajak akan berbeda karakteristiknya dari gerbong pertama.

Sama kiranya proses yang terjadi dalam Nusantara, yang mana banyak pembajak Istilah untuk memberikan kesan positif, walaupun berbeda Substansi dan Dzahirnya.

Baca Juga:  Tak Ada Gunanya Punya Fitrah Jika Tak Diasah

Nalar Salaf yang Sesuai

Penggunaan istilah Salaf untuk identifikasi golongan tertentu bisa dipandang sebagai hak individual yang  tidak bisa dinegasikan. Sebagaimana narasi penulis di atas, bahwa banyak sekali Istilah baik tidak memiliki keterkaitan antara substansi dan praktek dzahirnya.

Fakta bahwa banyak orang  yang  menggunakan label Islam untuk membenarkan tindakan kekerasan oleh golongan teroris.

Meskipun golongan teroris tersebut akan menyangkal mereka sebagai golongan ‘teroris’, bahkan menyebut diri sebagai kepanjangan perintah Tuhan.

Ketertumpukan istilah menyebabkan orang yang tidak memiliki perangkat ilmu cukup akan sangat mudah terpengaruh.

Sebagaimana istilah Salaf yang digunakan oleh gerakan pemurnian ala Muhammad bin Abdul Wahhab di Arab Saudi. Gerakan ini merembet masuk ke Nusantara dengan label SALAF/ SALAFI/ SALAFIYAH untuk menarik Jamaah.

Padahal pemikiran mereka tidak jauh beda dengan nalar Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Nashirudin Albani, Muhammad bin Abdul Wahhab dan sekelas dengan beliau.

Tokoh-tokoh tersebut sebenarnya memiliki catatan khusus dalam khazanah Islam karena penerimaannya terhadap konsep makna Tekstual Ketat. Konsekuensinya adalah terjebak dalam Mujassimah dan Musyabbihah.

Padahal komentar Jumhur Ulama’ tentang hadits Imam Bukhari menegasikan kalangan Mujassimah dan Musyabbihah masuk dalam hadits berikut;

Baca Juga:  Kisah Dzulkarnain, Raja Shaleh yang Membangun Tembok Ya'juj Ma'juj

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمَيْنُهُ وَ يَمَيْنُهُ شَهَادَتُهُ

Artinya; “Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang setelahnya lagi (atba’it tabi’in), kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannnya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. Bukhari)

Maka golongan yang benar-benar sesuai dengan Salaf adalah mereka yang mengikuti pemahaman As-Sawad Al-A’dzam atau Golongan Mayoritas. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq