Abu Ali al-Haddad dan Pengalaman Spiritual Bersama Gurunya

Abu Ali al-Haddad dan Pengalaman Spiritual Bersama Gurunya

PeciHitam.org – Ada sebuah kisah yang menceritakan seorang pandai besi yang hidup di daerah Naisapur pada abad ke-3 Hijriah. Syaikh Abu Ali al-Haddad namanya. Beliau merupakan salah seorang murid dari Syaikh Abu Hafsh al-Haddad.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dikisahkan bahwa ketika pertama kali Syaikh Abu Ali al-Haddad datang kepada gurunya, yaitu Syaikh Abu Hafsh al-Haddad, Sang Guru memerintahkan kepadanya untuk menekuni dunia perbesian atau pekerjaan-pekerjaan seorang pandai besi.

Syaikh Abu Ali al-Haddad diperintahkan agar upah dari pekerjaannya itu diberikan sepenuhnya kepada para fakir-miskin. Beliau tidak boleh mencicipi sedikit pun.

Sedangkan untuk makan dan berbagai macam kebutuhan sehari-hari yang lain, beliau diperintahkan untuk menjadi seorang pengemis dengan cara meminta-minta kepada para tetangga.

Perintah tersebut langsung dilaksanakan olehnya dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Sampai akhirnya mereka mendengar cibiran berikut: “Coba perhatikan orang itu. Sungguh, betapa tamak dia. Sibuk bekerja sekaligus menjadi seorang pengemis. Tidak tahu malu.”

Setelah pada akhirnya mereka mengetahi bahwa hasil pekerjaan tersebut ternyata sepenuhnya diberikan kepada para fakir-miskin. Beliau mengemis sebenarnya hanya untuk menekan egonya sendiri atas perintah gurunya. Mengetahui hal itu, mereka kemudian menjadi hormat dan takzim kepadanya.

Perintah Sang Guru tersebut juga sebenarnya terinspirasi dari apa yang pernah ia dapatkan dari gurunya terdahulu. Dikisahkan bahwa ketika masih muda Abu Hafs pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang berprofesi sebagai pelayan. Abu Hafs kala itu begitu tergila-gila pada gadis itu, yang membuat hari-harinya selalu gelisah.

Baca Juga:  Umur 7 Tahun, Imam Abu Hanifah Sudah Menang Debat Melawan Seorang Atheis

Mengetahui hal tersebut, teman-temannya berkata padanya, “Ada seorang dukun Yahudi tinggal di pinggiran Kota Nisyabur. Ia akan bisa membantumu.” Tanpa pikir panjang Abu Hafs pergi menemui dukun Yahudi yang direkomendasikan oleh teman-temannya dan menjelaskan permasalahannya.

Dukun tersebut kemudian menasihatinya, “Selama 40 hari, engkau tidak boleh shalat, atau mematuhi semua perintah Tuhan dengan cara apapun, atau melakukan perbuatan baik, sekecil apapun. Janganlah pernah menyebut nama Tuhan, atau berniat baik, apapun niat itu, setelah itu aku akan membantumu dengan sihir untuk mewujudkan keinginanmu.”

Ia begitu semangat untuk melalukan apa yang dinasehatkan kepadanya tersebut. Benar saja, selama 40 hari Abu Hafs melakukan apa yang diperintahkan oleh si dukun, kemudian si dukun memberikan jimat, tapi tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Sontak ia mengeluh dan berkata:

“Aku tidak melakukan apa-apa. Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah ketika aku menuju ke sini, aku menendang sebongkah batu keluar dari jalan agar tidak ada orang yang tersandung olehnya.”

Baca Juga:  Kasus Pelecehan Seksual dan Hukumannya di Zaman Nabi Saw

“Jangan plin-plan di hadapan Tuhan,” kata si Yahudi, “Yang perintah-Nya telah kau abaikan selama 40 hari dan yang dengan kemahapemurahan-Nya tidak menyia-nyiakan bahkan perbuatan baik sekecil apapun yang engkau lakukan.”

Kata-kata ini serasa membakar hati Abu Hafs. Begitu kuatnya pengaruh kata-kata si Yahudi itu, sehingga ia meninggalkan gaya hidupnya yang telah ia jalani selama ini.

Abu Hafs tetap menjalankan profesinya sebagai pandai besi, menyembunyikan keajaiban yang telah ia alami. Setiap hari ia mendapat satu dinar. Malam harinya ia menyedekahkan seluruh penghasilannya kepada fakir miskin, dan meletakkan uang itu di depan pintu rumah para janda secara sembunyi-sembunyi.

Kemudian ketika malam tiba, ia mengemis, dan berbuka puasa dengan hasil mengemisnya. Terkadang ia mengumpulkan sisa-sisa bawang perai di tempat cuci umum, dimana orang-orang biasa mencuci bahan makanan mereka, dan membuat makanan dari sisa-sisa ini.

Berarti dengan demikian, untuk sampai pada kecemerlangan spiritual yang sangat memukau itu mutlak diperlukan adanya kepatuhan yang tulus kepada Sang Guru pembimbing yang hatinya telah merdeka dari segala pamrih duniawi dan sekaligus pamrih ukhrowi. Patuh kepada Sang Guru yang sepenuhnya sudah terpukau kepada Allah Ta’ala, tak bercabang harsatnya kepada yang lain.

Baca Juga:  Sekilas Cerita Sahabat Nabi Yang Miskin dan Rendah Hati

Pengalaman spiritual yang seperti itu biasanya memang begitu efektif untuk menempa dan memproses diri agar merasakan kebahagiaan tak terkira, sebab ia merasa dekat dan diistimewakan oleh Allah. Pengalaman spiritual yang dialamni seseorang secara langsung juga dinilai lebih efektif dari pada hanya membaca buku para sufi namun minim tindakan.

Dengan demikian, kisah di atas menjelaskan juga kepada kita tentang arti pentingnya seorang mursyid dalam ranah tasawuf. Hal tersebut bertujuan agar kita mengalami proses spiritual yang efektif. Sebab biasanya seorang guru lebih tau batas seorang muridnya dan jikalaupun pun dirasa salah, guru tersebut juga dapat mengingatkannya. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq