Dialog Kyai NU dan Seorang Pemuda Bercelana Cingkrang

Dialog Kyai NU dan Seorang Pemuda Bercelana Cingkrang

Pecihitam.org – Suatu hari, seorang pemuda yang mengenakan Celana cingkrang datang berkunjung ke sebuah pesantren NU di Indonesia bertujuan untuk bertemu dengan Kyai di Pesantren tersebut. Maka terjadilah dialog di antara pemuda dan Kyai di ruang tamu rumah Kyai itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pemuda: Assalamu Alaikum, Kyai…
Pak Kyai: Wa alaikum Salam.. Silakan duduk anak muda, siapa namamu dan dari mana asalmu?

Pemuda: Terima kasih Pak Kyai. Nama saya Abdullah dan saya berasal dari Kampung Seberang.

Pak Kyai: Jauh kamu bertandang ke sini, sudah tentu kamu punya hajat yang sangat besar. Apa hajatnya mana tahu mungkin saya boleh menolongmu?

Pemuda berjidat hitam tersebut diam sebentar sambil menarik nafasnya dalam-dalam.

Pemuda: Begini Pak Kyai, saya datang ke sini bertujuan ingin berbincang beberapa permasalahan dengan Pak Kyai. Pendeknya, permasalahan umat Islam sekarang.
Pak Kyai: Permasalahan seperti apa itu anakku?

Pemuda: Saya ingin bertanya, mengapa Kyai-Kyai di kebanyakan pesantren di Indonesia, dan Tuan-Tuan Guru di Malaysia serta Pattani dan Asia umumnya sering kali mengajar murid-murid mereka dengan lebih suka mengambil kalam-kalam atau pandangan para ulama? Seringkali saya mendengar mereka akan menyebut: “Kata al-Imam al-Syafii, kata al-Imam Ibn Atho’illah al-Sakandari, Kata al-Imam Syaikhul Islam Zakaria al-Ansori dan lain-lain”

Mengapa tidak terus mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah? Bukankah lebih enak kalau kita mendengar seseorang tersebut menyebutkan “Firman Allah taala di dalam al-Quran, Sabda Rasulullah sallallahu alaihi wasallam di dalam hadis itu dan ini?”

Bukankah Ulama-ulama itu juga punya kesalahan dan kekurangan. Maka mereka juga tidak lari daripada melakukan kesilapan. Maka sebaiknya kita mengambil terus daripada kalam al-Ma’sum iaitu al-Quran dan al-Sunnah.

(Pak Kyai mendengar segala hujjah yang disampaikan oleh pemuda tersebut dengan penuh perhatian. Sedikit pun beliau tidak memotong malah memberikan peluang bagi pemuda tersebut berbicara sepuas-puasnya. Sambil senyuman terukir di bibir Pak Kyai, beliau bertanya kepada pemuda tersebut,)

Baca Juga:  Mengenal Sosok Salman al Farisi, Pencari Kebenaran Islam

Pak Kyai: Masih ada lagi apa yang ingin kamu persoalkan wahai nak Abdullah?
Pemuda: Sementara ini, itu saja yang ingin saya sampaikan Pak Kiyai.

Pak Kyai: Sebelum berbicara lebih lanjut, eloknya kita minum dahulu ya. Tiga perkara yang sepatutnya disegerakan adalah hidangan kepada tetamu, wanita yang dilamar oleh orang yang baik maka disegerakan perkawinan mereka dan yang ketiga, si mati yang harus disegerakan urusan pengkebumiannya. Betul kan Abdullah?

Pemuda: Benar sekali Pak Kyai .

(Pak Kiyai lalu memanggil isterinya bagi menyediakan minuman pada mereka berdua. Maka beberapa detik selepas itu minuman pun sampai di hadapan mereka.)

Pak Kyai: Silakan minum Abdullah.

(Setelah dipersilahkan oleh Pak Kyai, maka Abdullah pun terus mengambil bekas air tersebut lalu menuangkan perlahan-lahan ke dalam cawan yang tersedia.)

Pak Kyai terus bertanya: Abdullah, kenapa kamu tidak terus minum dari tekonya saja? Kenapa perlu dituang di dalam gelas?

Pemuda: Pak Kyai, mana bisa saya minum terus dari tekonya. Tekonya besar sekali. Maka saya tuang ke dalam gelas agar memudahkan saya meminumnya.

Pak Kyai: Abdullah, itulah jawaban terhadap apa yang kamu persoalkan tadi. Mengapa kita tidak mengambil langsung dari Al-Quran dan as-Sunnah? Terlalu besar untuk kami terus minum daripadanya. Maka kami mengambil apa yang telah dituang di dalam gelas para ulama. Maka ini memudahkan bagi kami untuk mengambil dan memanfaatkannya.

Benar kamu katakan bahwa mengapa tidak langsung saja mengambil daripada al-Quran dan al-Sunnah. Cuma persoalan ini kembali ingin saya lontarkan kepada kamu. Adakah kamu ingin mengatakan bahwa al-Imam al-Syafii dan para ulama yang kamu sebutkan tadi mengambil hukum selain dari Al-Quran dan Sunnah? Adakah mereka mengambil daripada kitab Talmud atau Bible?

Baca Juga:  Kisah Yakub bin Ishaq Hingga Diangkat Menjadi Nabi

Pemuda: Sudah tentu mereka juga mengambil dari Al-Quran dan Sunnah.

Pak Kyai: Kalau begitu, maka sumber pengambilan kita juga adalah Al-Quran dan Sunnah cuma dengan paham para ulama.

Pak Kyai: Satu lagi gambaran yang ingin saya terangkan kepada kamu. Saya dan kamu membaca Al-Quran, al-Imam al-Syafii juga membaca Al-Quran bukan?

Pemuda: Sudah tentu Pak Kyai.

Pak Kyai: Baik, kalau kita membaca sudah tentu kita ada memahami ayat-ayat di dalam Al-Quran tersebut bukan? Al-Imam al-Syafii juga memahami ayat yang kita bacakan. Maka persoalannya, pemahaman siapa yang ingin didahulukan? Pemahaman saya dan kamu atau pemahaman al-Imam al-Syafii terhadap ayat tersebut?

Pemuda: Sudah tentu pemahaman al-Imam al-Syafii karena beliau lebih memahami dibanding orang zaman sekarang.

Pak Kyai: Nah, sekarang saya rasa kamu sudah jelas bukan? Hakikatnya kita semua mengambil daripada sumber yang satu yaitu al-Quran dan Sunnah. Tiada seorang pun yang mengambil selain dari keduanya. Cuma bedanya, kita mengambil dari pemahaman al-Quran dan Sunnah tersebut dari siapa?

Sudah tentu kita akan mengambil dari orang yang lebih dalam ilmunya. Ini kerana mereka lebih wara’ dan berjaga-jaga ketika mengeluarkan ilmu.

Kamu tahu Abdullah, al-Imam al-Syafii pernah ditanya oleh seseorang ketika beliau sedang menaiki keledai, berapakah kaki keledai yang Imam tunggangi?

Maka al-Imam al-Syafii turun dari keledai tersebut dan menghitung kaki keledai tersebut. Selesai menghitung, barulah al-Imam menjawab: “Kaki keledai yang aku tunggangi ada empat”.

Orang yang bertanya tersebut merasa heran lalu berkata “Wahai Imam, bukankah kaki keledai itu memang empat, mengapa engkau tidak langsung menjawabnya?”

Al-Imam al-Syafii menjawab: “Aku bimbang, jika aku menjawabnya tanpa melihat terlebih dahulu, tiba-tiba Allah Ta’ala hilangkan salah satu kakinya maka aku sudah dikira tidak amanah di dalam memberikan jawaban”

Baca Juga:  Doa Nabi Muhammad Pada Pernikahan Putrinya

Coba kamu perhatikan Abdullah, betapa wara’nya al-Imam al-Syafii ketika menjawab persoalan berkaitan dunia. Apalagi kalau berkaitan dengan agamanya?

Al-Imam Malik pernah didatangi oleh seorang pemuda di dalam majlisnya di Madinah al-Munawwarah. Pemuda tersebut mengatakan bahwa dia datang dari negeri yang jauhnya 6 bulan perjalanan daripada Madinah. Pemuda itu datang untuk bertanya satu masalah yang ada di lokasinya.

Al-Imam Malik, mengatakan bahawa “Maaf, aku tidak pandai untuk menyelesaikannya”

Pemuda tersebut heran dengan jawaban Imam Malik, dan dia bertanya: “Bagaimana aku akan menjawab nanti bilamana ditanya oleh penduduk tempatku?”

Maka kata al-Imam Malik: “Katakan kepada mereka bahwa Malik juga tidak mengetahui bagaimana untuk menyelesaikannya”

Allah… Coba kamu lihat Abdullah betapa amanahnya mereka dengan ilmu. Berbeda dengan manusia zaman sekarang yang baru setahun jagung di dalam ilmu sudah menepuk dada mengaku bahwa seolah-olah mereka mengetahui segalanya.

Pemuda: Masya Allah, terima kasih Pak Kyai atas penjelasan yang sangat memuaskan. Saya memohon maaf atas kekasaran dan keterlanjuran bicara saya .

Pak Kyai: Sama-sama Abdullah. Semoga kamu akan menjadi seorang yang akan membawa panji agama kelak dengan ajaran yang benar Insya Allah.

 

Semoga kita dapat mengambil Hikmah dan pelajaran dari kisah ini…

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *