Diri Sendiri adalah Destinasi Wisata Religi yang Paling Asyik

Diri Sendiri adalah Destinasi Wisata Religi yang Paling Asyik

Pecihitam.org – Hampir semua orang yang menyukai kegiatan wisata, entah itu jalan-jalan sore sekedar mencari hiburan setelah penat beraktivitas seharian, melakukan perjalanan ke tempat-tempat wisata di hari libur atau perjalanan dengan tujuan resmi tertentu yang memuat kegiatan wisata, seperti study tour anak-anak sekolahan dan kunjungan kerja pekerja-pekerja kantoran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kegiatan wisata mengandung kenikmatan tersendiri bagi para pelakunya karena memang kenikmatan dan kesenangan itulah yang dicari wisatawan.

Agama Islam tak ingin mengungkung karakter manusia yang suka berwisata itu, namun ia menuntut para pengikutnya untuk mengarahkan kegiatan wisata kepada tujuan-tujuan yang lebih mulia. Karena itulah Islam menyediakan suatu ibadah yang berbentuk perjalanan wisata dengan maksud untuk meningkatkan iman berupa ibadah haji dan umroh.

Menurut Ali Syarati (1983: 3), haji adalah ritual ibadah yang esensinya adalah proses perubahan kesadaran diri atau disebutnya evolusi eksistensial manusia.

Selain haji dan umroh, beberapa aktivitas wisata religi lain juga menjadi bagian dari ibadah dalam Islam dengan tujuan yang sama, yakni hiburan sekaligus pemantapan iman, seperti ziarah ke makam orang-orang saleh, wisata alam, kunjungan ke panti-panti sosial dan lain-lain.

Allah Swt sendiri memperjalankan seorang hamba-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw, melalui perjalanan suci Isra-Mi’raj dengan tujuan untuk menghibur sang utusan setelah dirundung kepahitan hidup yang berpotensi melemahkan semangat dakwahnya. Dengan perjalanan wisata ke Palestina dan ke Sidratil Muntaha itu, Nabi mendapatkan kembali semangat baru dalam menyampaikan risalah kenabiannya.

Baca Juga:  Mahwu dan Itsbat, Penghapusan Ingatan Pada Selain Allah dan Penetapan Ingatan Hanya Pada Allah

Allah Swt bahkan memuji orang-orang yang berwisata demi memperoleh ‘ibrah (pelajaran) untuk meningkatkan kadar ketakwaan. Mereka dipuji oleh Allah bersama-sama orang-orang yang bertaubat, mengabdi dan memuji Allah, rukuk dan sujud kepada-Nya, orang-orang yang memerintahkan sesamanya kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta memelihara ketetapan-ketetapan Allah. (QS. At-Tawbah: 112)

Keutamaan aktivitas wisata dalam ajaran Islam tak terlepas dari anjuran-anjuran Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya untuk melihat, mengamati, meneliti dan mempelajari berbagai fenomena alam semesta, sebab di sana terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya (QS. al-Baqarah: 164; QS. Ali Imran: 190; QS. al-An’am: 97, 99; QS. al-A’raf: 58, dan lain-lain).

Tak hanya memberitakan adanya tanda-tanda tersebut di balik alam semesta, Allah bahkan memerintahkan kita untuk melakukan perjalanan-perjalanan wisata itu (QS. al-Hajj: 46; QS. al-‘Ankabut: 20; QS. Ghafir: 21; QS. al-Mulk: 15).

Para filosof adalah orang-orang yang mengamalkan ajaran Allah itu. Dengan menelaah alam semesta dan merenungkannya mereka menemukan hakikat penciptaan alam secara filosofis.

Al-Farabi dan Ibnu Sina misalnya, mengatakan bahwa alam ini tercipta dalam suatu rentetan hubungan sebab-akibat, mulai dari wujud terendah, yakni tumbuhan, hewan dan manusia hingga memuncak kepada Sebab Pertama, Prima Causa, Sebab yang tak disebabkan oleh yang lain, Wujud Niscaya, Wajibul Wujud, yakni Allah.

Alam raya atau makro kosmos merupakan sarana untuk mengenal kekuasaan ilahi, namun bagi para filosof belakangan dan para sufi, tak kalah hebatnya berwisata ke dalam diri manusia sendiri sebagai alam kecil atau mikro kosmos. Dalam diri kita yang sebenarnya sangat luas ini terkandung tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung. “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”, demikian Hadits yang terkenal di kalangan sufi.

Baca Juga:  Siapa dan Bagaimana Kesufian Syeikh Yusuf Al Makassari?

Selain itu Allah berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur`an itu adalah benar” (QS. Fushshilat: 53).

Melalui risalah Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) Imam al-Ghazali menyampaikan bahwa ma’rifatun nafs (mengenal diri) adalah kunci mengenal Allah dan pengenalan itu merupakan ramuan yang membawa kepada kebahagiaan.

Tentu yang dimaksud al-Ghazali bukan sekedar pengenalan diri secara lahiriah, seperti seberapa besar badan kita, bagaimana susunan anggota tubuh kita, seperti apa wajah kita dan lain sebagainya. Bukan pula sekedar atribut sosial kita, seperti jabatan, tingkat ekonomi, struktur sosial dan lain-lain. Pengenalan diri tersebut lebih kepada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti siapa aku, dari mana aku datang, ke mana aku pergi, di manakah aku berakhir, di mana kebahagiaan sejati (Abu Hamid al-Ghazali, 1996: 420)

Sebagaimana diungkap Kautsar Azhari Noer (2011: 201), Ibnu ‘Arabi, sang syaikh al-akbar, dalam Futuhat al-Makiyyah menyebut bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang hakikatnya adalah ruh Allah, berdasarkan firman-Nya: “…Aku telah meniupkan kepadanya ruh-Ku…” (QS. al-Hijr: 29), yang bersemayam di dalam hati (qalb). Diri manusia, karena itu, merupakan tempat persemayaman Allah.

Baca Juga:  Bukan Jumat, Ternyata Inilah Hari yang Paling Utama bagi Seorang Muslim

Dengan ini, menurut Ibnu ‘Arabi dalam karyanya al-Tadbirat al-Ilahiyyah fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyyah, manusia harus membiarkan ruh ilahi itu menjadi khalifah yang memerintah kerajaan manusia, yakni dirinya sendiri. Pengenalan dirinya yang pada hakikatnya mengandung ruh ilahi itu akan mengantar manusia kepada sumber keselamatan serta tidak kemasukan segala keraguan dan prasangka (la yadkhuluhu raybun wa la takhmin) (Kautsar Azhari Noer, 2011: 209)

Dengan demikian, selain mengunjungi tempat-tempat yang indah dan bersejarah, wisata religi juga dapat dilakukan dengan menjelajahi diri kita sendiri. Diri kita yang juga merupakan tanda kekuasaan Allah akan memberikan hiburan dan kenikmatan tiada tara, serta menggiring kita kepada kebahagiaan sejati.***


Daftar Pustaka

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid, 1996, Kimiya al-Sa’adah dalam Majmu’ah Rasa`il al-Imam al-Ghazali, Beirut: Dar al-Fikr.
  2. Noer, Kautsar Azhari, 2011, Pemerintahan Ilahi atas Kerajaan Manusia: Psikologi Ibnu Arabi tentang Ruh Jurnal Kanz Philisophia, Vol. I, No. 2.
  3. Syariati, Ali, 1983, Haji (terj.), Bandung: Pustaka.
Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *