Imam Ahmad Bin Hanbal Pernah Menolak Doakan Orang Sakit

doa imam ahmad bin hanbal

Pecihitam.org – Kita ketahui Imam Ahmad Bin Hanbal adalah seorang ulama pendiri mazdhab Hanbali. Dibalik keshalehan dan kealimannya tidak membuatnya merasa tinggi hati dan ingin dipuji, malah beliau lebih sering memperlihatkan sikap ketawadhuannya. Kita sering mendengar atau membaca cerita tentang keampuhan doa orang-orang terdahulu. Sebagian orang tidak mempercayai kisah-kisah tersebut; sebagian lainnya sangat mempercayai. Di sini kita tidak akan membahas soal “percaya” atau “tidak percaya”. Kita hanya akan membahas tentang hikmah kisah dibalik sikap Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak mau mendoakan orang lain, padahal orang tersebut sedang sakit.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Imam al-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala’, meriwayatkan kisah tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan seseorang yang meminta doa kepadanya.

قال عباس بن الدّوري: حدثنا علي بن أبي فزَارَة جار لنا، قال: كانت أمي مقعدة نحو عشرين سنة، فقالت لي يوماً: اذهب إلى أحمد بن حنبل فسَأَلْه أن يدعوَ لي، فأتيتُ فدققت عليه وهو في دهليزه فقال: من هذا؟ قلت: رجل سألتني أمي وهي مقعدةٌ أن أسألك الدعاء، فسمعت كلامه كلام رجل مغضب، فقال: نحن أحوج أن تدعو الله لنا. فولّيت منصرفاً، فخرجت عجوز، فقالت: قد تركته يدعو لها. فجئت إلى بيتنا فدققت الباب فخرجت أمي على رجليها تمشي

Abbas bin (Muhammad) al-Dauri berkata: Diceritakan oleh Ali bin Abi Fazarah, tetangga kami, ia bercerita: “Ibuku (sakit) lumpuh sekitar dua puluh tahun lamanya. Suatu hari ia berkata padaku: ‘Pergilah ke (rumah) Ahmad bin Hanbal. Mintalah ia mendoakanku.’ Aku pun mendatangi (rumah imam Ahmad bin Hanbal), kuketuk (pintu rumah)nya, ternyata ia berada di halaman depan (rumah)nya. Ia bertanya: ‘Siapa ini?’ Aku menjawab: ‘(Aku) orang yang disuruh ibuku yang lumpuh untuk memintamu mendoakannya.’ Kemudian aku mendengar nada bicara orang marah dengan mengatakan: ‘Kami lebih butuh doamu.’ Maka aku pun pergi. Tiba-tiba seorang wanita tua keluar dan berkata: ‘Setelah kau pergi, Ahmad bin Hanbal berdoa untuk ibumu.’ (Ketika) sampai di rumah, aku mengetuk pintu, ibuku berjalan keluar dengan kakinya sendiri.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985, juz 11, halaman. 211-212)

Dari riwayat ada beberapa sudut pandang yang perlu kita teladani. Kita akan membahasnya satu persatu. Pertama, sebagai bentuk tawadhu’, dan kedua, sebagai bentuk pendidikan.

Baca Juga:  Kisah Nabi Nuh dalam al-Quran, Bagaimanakah Detailnya?

Bentuk Tawadhu’

Dalam kisah di atas, jika kita renungi dalam-dalam kemarahan Imam Ahmad tampaknya karena ia tidak ingin terjebak dalam pujian. Sebab, “anggapan” orang tentang kedudukan seseorang di sisi Tuhannya adalah pujian yang paling berbahaya. Bisa menyebabkan lahirnya perasaan “merasa lebih mulia” dari lainnya. Perasaan yang sama dengan Iblis ketika menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam.

Dengan penuh kebanggaan, Iblis menjawab “Ana khairum minhu, khalaqtana min nar wa khalaqtahu min thin (aku lebih baik darinya (Adam), Kau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah).” (QS. Al-A’raf: 12).

Perasaan itulah yang membuat iblis terlempar dari surga, karena dia mengira “api” lebih mulia dari “tanah” meski Tuhan tidak pernah mengatakannya, tetapi dia mengasumsikan itu sendiri, karena kesombongannya.

Berbeda dengan Nabi Adam As ketika ia berbuat salah (memakan buah khuldi), ia bergegas memohon ampunan-Nya, menyesali perbuatannya, mendzalimkan dirinya sendiri, dan bersimpuh karena perasaan bersalahnya. Nabi Adam tahu, ia tidak lebih mulia dari siapapun; ia tidak lebih baik dari siapapun. Inilah pentingnya merasakan diri sebagai hamba yang kotor dan penuh dosa, agar ketawadhu’an bisa terus hidup di hati kita.

Baca Juga:  Karomah KH Bisri Musthofa, Meralat Tafsir al Ibriz Setelah Wafat

Bentuk Pendidikan

Se-shaleh apapun seorang manusia, jangan anggap mereka tidak butuh doa. Mereka tetap membutuhkan doa dari sesamanya. Itulah mengapa Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:

“Kami lebih butuh doamu.”

Perkataan tersebut dapat dipahami dalam dua hal;

  • 1) Sepintar dan sesaleh apapun manusia, mereka tetap membutuhkan doa. Kebanyakan manusia enggan mendoakan orang yang dianggapnya shaleh karena merasa tidak pantas. Imam Ahmad ingin meluruskan hal ini.
  • 2) Bahwa doa orang sakit memiliki keampuhan seperti malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam Ibnu Majah dari Sayyidina Umar bin Khattab):

إِذَا دَخَلْتَ عَلَى مَرِيضٍ، فَمُرْهُ فَلْيَدْعُ لَكَ فَإِنَّ دُعَاءَهُ كَدُعَاءِ الْمَلائِكَةِ

“Jika kau masuk (mengunjungi) orang sakit, mintalah agar ia berdoa untukmu, karena doanya seperti doa malaikat.”

Kita jangan memahami hadits tersebut sebagai bentuk “merepotkan bagi orang sakit”, melainkan sebuah bentuk “optimisme.” Dengan mengamalkan hadits tersebut, kita seperti hendak mengatakan, “meski kau sakit, kau memiliki pengaruh yang lebih besar dari kami, bahkan doamu bisa menyelamatkan dan merubah hidup kami.” Artinya, manusia diberi Tuhan keistimewaan dalam keadaannya yang berbeda-beda. Orang sehat diberi keistimewaan amal “menjenguk orang sakit” yang pahalanya luar biasa. Orang sakit diberi keistimewaan doa yang makbul dan dosa yang terkurangi. Semuanya memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri.

Hikmahnya adalah kita harus menjaga hati kita agar tidak merasa lebih mulia dari yang lain. Jika tidak, berarti kita telah mencontoh Iblis. Dialah makhluk pertama yang melakukannya. Dia merasa lebih tahu dari Tuhannya dengan mengatakan, “khalaqtani (Kau ciptakan aku” dan “khalaqtahu (Kau ciptakan dia (Adam)).” Artinya, dia memandang kemuliaan dari pandangannya sendiri, tidak menggunakan pandangan Allah. Sedangkan pandangan Allah itu rahasia, tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui kedudukannya di sisi Allah. Inilah yang membuat manusia terus mencari akhir yang baik (husnul khatimah).

Baca Juga:  Kisah Debat Imam Syafii dan Imam Hambali Tentang Orang yang Meninggalkan Shalat

Jika ketakwaan manusia terpampang jelas, manusia akan kehilangan rasa takut. Mereka akan gemar berkalkulasi. Misalnya, “ Hari ini dosaku sudah seratus lima, pahalaku baru seratus. Kalau gitu beramal lagi ah, jangan berbuat dosa dulu.” Inilah juga termasuk hikmah tidak diketahuinya kedudukan kita di sisi Allah, sehingga membuat kita terus berharap ampunan-Nya dan tidak memandang rendah orang lain. Karena segiat apapun kita beramal, kita tidak akan pernah tahu kedudukan kita dan akhir hayat kita. Dan pada akhirnya, Allah lah yang menentukan. Jadi, berbaik sangkalah kepada sesamamu, beramallah semampumu dan mohon ampunlah sebanyakmu. Walllahua’lam Bisshawab

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *