Kezuhudan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

sifat zuhud ali bin abi thalib

Pecihitam.org – Ali bin Abi Thalib ra. adalah sosok yang memiliki predikat yang sangat prestisius. Karena pada saat perang Khaibar Rasulullah SAW menegaskan “Besok, bendera akan aku berikan kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya” yaitu Ali bin Abi Thalib.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tokoh-tokoh sahabat menjulurkan kepala agar Rasulullah menunjuk dirinya sebagai pemegang bendera. Akan tetapi, beliau hanya mencari Ali bin Abi Thalib untuk mendapatkan predikat itu secara khusus.

Ali bin Abi Thalib memang luar biasa bukan hanya karena statusnya sebagai menantu Rasulullah, atau statusnya sebagai sepupu Rasulullah yang menghabiskan masa kecil dan remajanya dibawah asuhan beliau.

Tapi, karena Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang sangat cerdas, tangkas, pemberani, tegas, lurus, zuhud, ahli ibadah dengan ketakwaan hati yang sangat mendalam.

Saat waktu shalat tiba, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. “Amirul mukminin, apa yang terjadi pada anda?” Tanya seseorang. “Telah datang waktu penunaian amanah yang dulu ditawarkan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tapi mereka tidak sanggup dan takut untuk memikulnya. Dan, aku yang memikul amanah itu”. Jawab beliau merujuk kepada QS. Al-Ahzab:72.

Ali bin Abi Thalib ra. adalah teladan yang lengkap untuk mempraktikkan tasawuf aktif, bukan tasawuf pasif. Beliau macan di medan perang, singa di meja debat, lautan didalam ilmu, pengendali pemerintahan yang hebat, tapi hidup dengan sangat sederhana.

Baca Juga:  Ini Larangan Korupsi dan Suap-Menyuap dalam Kisah Nabi Muhammad SAW

Banyak kisah disebutkan bahwa Sayyidina Hasan dan Husain, putranya, tidak jarang menangis kelaparan. Sayyidah Fatimah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang sangat kasar karena tidak memiliki sahaya atau pembantu.

Selimut dirumahnya tidak cukup, jika ditarik ke kepala maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup kepalanya terbuka. Beliau bekerja sebagai buruh, sedangkan Sayyidah Fatimah bekerja sebagai penjahit.

Ketika sudah menjadi khalifah, jubah yang beliau pakai sehari-hari hanya seharga tiga dirham. Sarungnya penuh tambalan. Ada yang menegur karena pakaian tersebut tidak layak untuk seorang khalifah. Beliau menjawab, “Biar diteladani oleh orang mukmin dan ini membuat hati menjadi khusyuk”.

Disaat menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib ra. sampai hendak menjual pedang kesayangannya ke pasar. “Siapa yang mau membeli pedangku ini. Demi Allah yang memecahkan biji-bijian, pedang ini sudah lama aku gunakan untuk melindungi Rasulullah dalam berbagai peperangan. Seandainya aku punya uang seharga sarung, aku tidak akan menjualnya”.

Padahal saat itu harta Baitul Mal ada di genggaman beliau. Emas, perak, dinar dan dirham bertumpuk disana. Tapi beliau tidak mencicipinya melebihi jatahnya yang sangat minim. Dalam kata-katanya yang sangat masyhur beliau menjawab, “Wahai yang kuning, wahai yang putih (emas), rayulah selain aku, rayulah selain aku!”.

Beliau sangat warak dan zuhud, bahkan beberapa tokoh sufi menyebutnya sebagai Sahabat yang paling zuhud – meskipun menurut mayoritas ulama: sahabat yang paling zuhud adalah Abu Bakar dan Umar.

Baca Juga:  Asal Usul Perang Badar Disebut Hari Furqaan, Bertemunya Pasukan Manusia dan Malaikat

Dalam pandangan beliau, seorang pengemban ilmu pengetahuan jangan sampai diperbudak oleh harta. Harus memiliki keyakinan kuat bahwa dunia bukanlah apa-apa. Paling tingga, harga diri harta hanyalah sebagai sarana.

“Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada memiliki unta-unta merah”. (HR. Bukhari).

Demikian salah satu wasiat Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib saat perang khaibar. Jadi nilai seorang ilmuan terletak pada perannya dalam membawa umat manusia ke jalan yang benar, bukan popularitas apalagi hanya kepentingan harta belaka.

“Bagi orang yang berakal, dunia hanyalah beban yang menjenuhkan”, tegas Ali bin Abi Thalib. “Ilmu menjagamu, sedangkan harta, engkaulah yang menjaganya, ilmu yang membuat keputusan , sedangkan harta, sasaran keputusan. Harta berkurang jika engkau berikan, sedangkan ilmu semakin bertambah ketika diberikan…” Demikian sebuah kata bijak Ali bin Abi Thalib yang sangat masyhur.

Dengan segala kegeniusannya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. masih menyatakan, “Musyawarah adalah hidayah. Betul-betul dalam bahaya orang yang menganggap cukup pikirannya sendiri”.

Di lain waktu beliau berujar, “Betapa menyejukkan hati, bila seorang dari kalian ditanya mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui, maka ia mengatakan: Allah Maha Tahu. Orang yang alim adalah orang yang tahu bahwa apa yang ia ketahui sengatlah sedikit dibanding dengan apa yang ia tidak ketahui”.

Baca Juga:  Pangeran Diponegoro dan Kedekatannya dengan Pesantren

Suatu ketika beliau menanyai Amir bin Murrah az-Zuhri.
“Siapa orang paling tolol?”
“Orang yang menganggap dirinya paling pintar”, Jawab Amir bin Murrah.
“Betul sekali. Lalu siapa orang yang paling pintar?”
“Orang yang tidak melebihi sikap diam dalam menghukum atau menanggapi orang-orang tolol”.

Begitulah seorang intelektual. Ia harus jujur, rendah hati, santun, tidak gila dunia, tidak memperalat ilmu untuk kepuasan nafsu, lurus, tegas, pemberani, dan yang terpenting adalah ketakwaannya kepada Allah.
Semua itu melekat denga kuat dalam kepribadian Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra..

Sehingga tidak heran jika terdapat sekian banyak mata rantai keilmuan yang bermuara kepada beliau. Terdapat sekian banyak sanad tarekat yang bersambung kepada beliau. Dan betapa banyak pula semangat kepahlawanan yang terinspirasi oleh keberanian beliau.

Sehingga ketika beliau wafat, Muawiyah, lawan politiknya pun menitikkan air mata. Dengan hati sedih ia berkata: “Telah hilang ilmu pengetahuan dan kesantunan”.

Sumber: Menjadi Sufi Berduit