Paham Qadariyah dan Jabariyah; Sejarah Kemunculan dan Perbedaannya

Paham Qadariyah dan Jabariyah; Sejarah Kemunculan dan Perbedaannya

PeciHitam.org – Islam banyak memiliki aliran teologi, salah satunya yaitu Paham Qadariyah dan Jabariyah. Keduanya, memiliki argumentasi yang berbeda dalam memahami Taqdir Allah. Bagaimanakah sejarah dan perbedaan kedua aliran ini?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebutan Qadariyah memiliki pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya. Paham Qadariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri. Setiap manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, mereka bebas dalam keinginan maupun kehendaknya (free will free act).

Tidak ada keterangan pasti mengenai kapan pertama kalinya paham ini muncul dalam perkembangan teologi Islam. Namun yang pasti, menurut para teolog Islam, paham Qadariyah ini pertama kali muncul dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani.

Menurut Ibnu Nabatah, paham Qadariyah ini diadaptasi dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak oleh Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghaylan al-Dimasyqi. Menurut al-Zahabi, Ma’bad merupakan seorang tabi’in yang baik.

Namun ia memasuki gelanggang politik dan memihak kepada Abdurrahman Ibnu al-Asy’as, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sajistan dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah dalam pertempuran dengan al-Hajjaj.

Ma’bad mati terbunuh sekitar tahun 80 H. Sementara sahabatnya Ghaylan terus menyiarkan paham Qadariyahnya di Damaskus, walaupun mendapat tantangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Setelah Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, Ghaylan memutuskan untuk meneruskan kegiatan lamanya, yaitu menyiarkan paham Qadariyah. Ghaylan pernah mengikuti perdebatan dengan al-Audha’i yang pada kala itu dihadiri juga oleh Hisyam sendiri.

Baca Juga:  Ciri-ciri Penganut Paham Qadariyah dan Doktrin Ajarannya

Menurut Ghaylan, seorang manusia mampu berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berhak memilih, melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri.

Bisa juga manusia itu sendiri memilih mengerjakan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Naas, setelah adanya perdebatan tersebut akhirnya ia mati dihukum oleh Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).

Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri, demikian pula ia berbuat jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri.

Di sini tidak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azali.

Sedangkan sebutan Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Aliran ini menganut paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (majbur).

Paham Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia sudah ditentukan Allah, manusia terikat dengan taqdir Allah. Mereka tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam berkehendak. Segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Allah.

Baca Juga:  Sejarah Singkat Munculnya Aliran Jabariyah dan Paham Sesatnya

Paham Jabariyah pertama kali dikenalkan oleh al-Ja’d ibnu Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jaham ibnu Safwan dari Khurasan. Sebagai sekretaris dari Suraihah ibnu al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.

Dalam perlawanan itu Jaham sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H. Paham yang dibawa Jaham adalah lawan ekstrem dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghaylan.

Manusia, menurut Jaham tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia untuk melakukan perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya (huwa majburun fi af’alihi la qudrata lahu wala iradata wala ikhtiyar).

Perbuatan-perbuatan diciptakan Allah di dalam diri manusia tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Allah dalam benda-benda mati. Oleh karena itu, manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya. Namun dalam arti majazi atau kiasan, tak ubahnya sebagaimana disebut air mengalir, matahari terbit dan sebagainya.

Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk dalam perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan menerima siksaan.

Menurut paham ekstrem ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatannya sendiri yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.

Baca Juga:  Doktrin Paham Jabariyah dan Dampaknya bagi Kehidupan

Jika seseorang mencuri misalnya, maka perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata kasarnya ia mencuri bukanlah atas kehendaknya, tetapi tuhanlah yang memaksanya mencuri.

Manusia dalam paham ini, hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Sebagaimana wayang bergerak hanya digerakkan dalang. Demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitulah asal mula munculnya paham qadariyah dan jabariyah beserta dengan perbedaan keduanya dalam memahami Taqdir Allah.

Mohammad Mufid Muwaffaq