Pesantren dan Kitab Kuning: Dua Azimat NU Sesungguhnya

pesantren dan kitab kuning

Pecihitam.org – Nahdlatul Ulama (NU) era Gus Dur di masa rezim Orde Baru (Orba) bisa dijadikan cermin bagi NU era Kiai Said sekarang ini. Hubungan NU dan kekuasaan, antara Gus Dur dan Soeharto pasang-surut.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada termin di mana keduanya harmoni, dan seringkali hubungan itu berjalan konfrontatif. Penerimaan azas tunggal Pancasila oleh NU masa itu menjadi salah satu fase harmoninya NU dan Orba.

Gus Dur sendiri sebagai ketum PBNU tak jarang dikritik oleh internal NU sendiri; baik karena kedekatannya dengan Soeharto, maupun karena kritiknya terhadap presiden Orba itu.

Reaksi paling ekstrem Orba pada NU, khususnya Gus Dur, adalah campur-tangan rezim otoritarian itu dalam mengobok-obok Muktamar NU hingga membentuk PBNU tandingan melalui Abu Hassan.

Adalah penting dicatat, kekuatan terbesar NU saat itu adalah fakta bahwa Gus Dur memiliki kader setia dan massa NU yang begitu banyak jumlahnya. Hal itu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Soeharto dalam melihat sosok Gus Dur.

Kekuatan itu tidaklah dapat terajut jika Gus Dur bukanlah sosok pemimpin NU yang rajin dan telaten berkunjung ke pesantren-pesantren, ke pelosok-pelosok kampung.

Kendatipun banyak yang bilang bahwa Gus Dur itu pemimpin yang kacau dalam soal administrasi organisasional, tapi ia piawai membangun koneksi terutama dengan massa akar rumput NU.

Kekuatan jaringan Gus Dur dalam internal NU dan pesantren membuat NU semakin kuat. Upaya-upaya penggembosan dan pelemahan NU dari luar dan melalui susupan duri-politik ke tubuh NU nyatanya tak mampu membuat NU lemah bahkan pemimpinnya, yakni Gus Dur keluar sebagai pemenang hingga jadi presiden.

Baca Juga:  Jangan Ikuti Dakwah Ulama yang Provokatif

Upaya pelemahan NU dari luar tampak akan selalu ada. Sudah semacam hukum alam. Semakin tinggi sebatang pohon, makin kencang angin menerjang.

Zaman beralih, moda tantangan dan ancaman pun berkembang seturut pirantinya yang tentu difasilitasi oleh budaya yang kian berkembang pula.

Era sekarang adalah era serbaneka teknologis. Hampir semua penduduk muka bumi tampak membangun dunia sosialnya tak sekadar di dunia riil. Ada tatanan sosial lain, yakni institusi sosial maya di rimba-raya internet.

Jika dulu era Gus Dur, kecaman, ancaman, dan kritik itu melalui tangan-tangan politik dan media massa, maka sekarang siapa pun yang tidak suka atau sejalan dengan NU dan atau Kiai Said bisa dengan mudah menerbitkan pikirannya melalui jejaring internet. Amat gampang dan lebih massif.

Sebagai anak ideologis Gus Dur, Kiai Said dituduh Syi’ah dan Liberalis sejak era Orba. Namun gaungnya tak demikian menggelegar dibanding usai Kiai Said menjabat ketum PBNU. Hal itu, lagi-lagi, sebab era Orba budaya media sosial belumlah ada.

Sekarang, orang yang tidak bisa baca quran dengan baik dan benar pun bisa melancarkan opini negatif kepada para Kiai NU hanya bermodal jaringan internet.

Baca Juga:  Polisi Sudah Minta Maaf, Perlukah Umat Islam Aksi Bela Mesjid Lagi?

Penggembosan NU dari luar lebih banyak dilakukan dan difasilitasi media sosial terkoneksi internet. Seolah, ancaman dan kecaman kepada NU itu lebih banyak datang dari khalayak akar rumput. Padahal, tak menutup kemungkinan itu datang dari menara politik dengan desain riak-riaknya masyarakat umum.

Upaya membunuh karakter, menggembosi, dan suplai-suplai distrust (ketakpercayaan) publik itu kentara sekali pasca pilpres kemarin. Di mana NU secara politis merupakan ormas pemenang dengan Kiai Ma’ruf Amin sebagai wapres terpilih.

Di irisan oposisi, ada banyak ormas yang bisa dikatakan kalah dan secara politis akses mereka ke pembentuk dan penyelenggara kebijakan publik agak macet.

Ini tentu tak bisa meninggalkan rasa legawa begitu saja. Aksi reaksioner mereka tampak kentara melalui berbagai opini negatif terhadap segala celah aktivisme NU. Banyak kiai dan tokoh NU yang dibunuh karakternya. Terutama Kiai Said.

Melihat kenyataan upaya-upaya pembunuhan karakter NU di media sosial, bisa dianggap sebagai ancaman serius, bisa juga dianggap biasa saja. Dianggap serius sebab jika era Orba kecaman itu persebarannya hanya elitis dan berjangkau sempit, maka era reformasi ini opini negatif atas NU yang dilakukan seorang saja persebarannya menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Dengan sekali “klik” dan share.

Biasa saja, sebab sebetulnya NU memiliki kekuatan yang tidak dimiliki ormas lain. Apa itu? Yakni tradisi intelektual yang kuat.

Baca Juga:  Pekik Takbir yang Salah Kaprah Hingga Kehilangan Marwah

Tradisi intelektual itu terutama sekali ditopang oleh eksistensi pesantren al-nahdliyyah yang usianya bisa menggenapi tiga abad lebih. Setasalsul dengan historis NU sendiri, NU berdiri dari rahim pesantren. Eksistensi pesantren dengan kitab kuningnya merupakan ciri khas tradisi intelektual NU.

Jika direnungi lebih dalam, sebetulnya pesantren dan khazanah kitab kuninglah kekuatan NU yang sesungguhnya. Ibarat bangunan, NU amat kokoh sebab ditopang-tiangi jutaan santri dan kiai serta berderet-deret kitab kuning yang tak terhitung jumlahnya.

Walaupun NU dengan Kiai Ma’ruf Amin dan banyak kadernya masuk ke jejaring Istana kekuasaan, namun tanpa eksistensi pesantren dan kekayaan intelektual kitab kuning rasanya NU sekadar bangunan nir-spirit, tidak punya ruh.

Dus, azimat Nahdlatul Ulama sejatinya adalah pesantren dan kitab kuning. NU lahir dari pesantren dan berjuang demi cita-cita pesantren. NU, dari pesantren untuk dunia.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *