Surah Al-Ahzab Ayat 4-5; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Ahzab Ayat 4-5

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ahzab Ayat 4-5 ini, Allah menerangkan bahwa Dia tidak menjadikan dua hati dalam satu tubuh sehingga tidak mungkin pada diri seseorang berkumpul iman dan kafir. Allah memerintahkan agar kaum Muslimin menasabkan seorang anak hanya kepada bapak dan ibunya, karena anak itu berasal dari tulang sulbi bapaknya, kemudian dikandung dan dilahirkan oleh ibunya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 4-5

Surah Al-Ahzab Ayat 4
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡ وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ

Terjemahan: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Tafsir Jalalain: مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ (Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya) firman ini sebagai sanggahan terhadap sebagian orang-orang kafir yang mengatakan, bahwa dia memiliki dua hati; yang masing-masingnya mempunyai kesadaran yang lebih utama daripada kesadaran yang dimiliki oleh Muhammad.

وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى (dan Dia tidak menjadikan istri-istri kalian yang) lafal allaa-iy dapat pula dibaca allaa-i تُظَٰهِرُونَ (kalian zihari) dapat dibaca tuzhhiruuna dan tuzhaahiruuna مِنۡهُنَّ (mereka itu) misalnya seseorang berkata kepada istrinya, “Menurutku kamu bagaikan punggung ibuku,” أُمَّهَٰتِكُمۡ (sebagai ibu kalian) yakni mereka diharamkan oleh kalian seperti terhadap ibu kalian sendiri, hal ini di zaman jahiliah dianggap sebagai talak. Zihar hanya mewajibkan membayar kifarat dengan persyaratannya yang akan disebutkan di dalam surah Al-Mujadilah.

وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ (dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian) lafal ad’iyaa adalah bentuk jamak dari lafal da’iyyun, artinya adalah anak angkat أَبۡنَآءَكُمۡ (sebagai anak kandung kalian sendiri) yakni anak yang sesungguhnya bagi kalian.

ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡ (Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja.) Sewaktu Nabi saw. menikahi Zainab binti Jahsy yang dahulunya adalah bekas istri Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi saw., orang-orang Yahudi dan munafik mengatakan, “Muhammad telah mengawini bekas istri anaknya sendiri.” Maka Allah swt. mendustakan mereka. وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ (Dan Allah mengatakan yang sebenarnya) وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ (dan Dia menunjukkan jalan) yang benar.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah Ta’ala berfirman dengan memberikan gambaran yang dikenal jelas sebelum arti yang dimaksud. Yaitu, sebagaimana seseorang tidak mungkin memiliki dua hati di dalam dadanya dan tidak dapat menjadi istri yang dizhiharnya dengan kata-kata: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Maka demikian pula orang yang menyebut anak angkatnya sebagai anaknya.

Maka Allah berfirman: مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ وَمَا جَعَلَ أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡ (“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu.”)

Seperti firman Allah: مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔى وَلَدۡنَهُمۡ (“Tidaklah istri mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.”) (al-Mujadilah: 2)

Firman Allah: وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡ (“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu [sendiri].”) inilah tujuan dari penolakan Ayat tersebut, karena Ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin al-Haritsah maula Nabi saw., bahwa Nabi saw. mengangkatnya sebagai anak sebelum kenabiannya hingga dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad.

Lalu Allah Ta’ala berkehendak untuk memutuskan hubungan dan nasab seperti ini, dengan firman-Nya: وَمَا جَعَلَ أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡ (“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu [sendiri].”)

Seperti firman Allah di pertengahan surah ini: مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمًا (“Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan adalah Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)

Dan disini Allah berfirman: ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡ (“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.”) yaitu pengakuan anak dari kalian itu hanyalah kata-kata yang tidak dapat menghukumkan untuk menjadikannya anak yang sebenarnya. Karena dia tetap diciptakan dari sulbi laki-laki lain. Tidak mungkin dia memiliki dua bapak, sebagaimana tidak mungkin seseorang memiliki dua hati. وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ (“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Allah menunjukkan jalan [yang benar].”)

Sa’id bin Jubair berkata: يَقُولُ ٱلۡحَقَّ (“Mengatakan yang sebenarnya.”) yakni keadilan.” Qatadah berkata: وَهُوَ يَهۡدِى ٱلسَّبِيلَ (“Allah menunjukkan jalan.”) yaitu jalan yang lurus.”

Imam Ahmad berkata dari Qabus, yaitu Ibnu Abi Zhabyan bahwa ayahnya berkata kepadanya: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, apakah pendapatmu tentang firman-Nya: maa ja-‘alallaaHu lirajulim ming qalbaini fii jaufiHi (“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.”) apa yang dimaksud dengan Ayat ini?” Ia mengatakan:

“Suatu hari Rasulullah saw. berdiri melaksanakan shalat, lalu terlintas suatu pemikiran. Lalu orang-orang munafik yang melaksanakan shalat bersama beliau berkata: ‘Apakah kalian tidak melihat, bahwa dia memiliki dua hati. Satu hati bersama kalian dan satu hati lagi bersama mereka.”

Lalu Allah Ta’ala menurunkan: مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِى جَوۡفِهِۦ (“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.”) demikian yang diriwAyatkan oleh at-Tirmidzi. Lalu ia mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia tidak menjadikan dua hati dalam satu tubuh sehingga tidak mungkin pada diri seseorang berkumpul iman dan kafir. Jika seseorang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu di dalam hatinya tidak ada kekafiran dan kemunafikan, walaupun sedikit, dan ia tentu mengikuti Al-Qur’an dan sunah Rasulullah, menyeru manusia mengikuti jalan Allah, mengikuti hukum-hukum-Nya dan berserah diri hanya kepada Allah.

Sebaliknya jika seseorang itu kafir atau munafik, tentu di dalam hatinya tidak ada iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan dia tidak akan bertawakal kepada Allah. Dengan kata lain, mustahil berkumpul pada diri seseorang dua buah keyakinan yang berlawanan, sebagaimana tidak mungkin ada dua hati di dalam satu tubuh manusia.

Pada masa Jahiliah sering terjadi pada bangsa Arab, untuk maksud dan dengan ucapan tertentu, mereka menjadikan istrinya sebagai ibunya. Maka bila dia mengucapkan kepada istrinya ucapan tertentu itu, jadilah istrinya sebagai ibunya yakni tidak dapat dicampurinya.

Baca Juga:  Surah Al-Mu'minun Ayat 68-75; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Menurut kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah, apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Anti ‘alayya kadhahri ummi” (punggungmu haram atasku seperti haramnya punggung ibuku), maka sejak suami mengucapkan perkataan itu, istrinya haram dicampurinya, seperti dia haram mencampuri ibunya. Tindakan suami seperti itu di zaman Jahiliah disebut “dhihar”. Dalam Islam hukum ini diganti dengan hukum yang diterangkan dalam surah al-Mujadalah/58 Ayat 3.

Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (al-Mujadilah/58: 3)

Kemudian dalam Ayat ini, Allah mencela satu lagi kebiasaan orang-orang Arab di masa Jahiliah, karena hal itu termasuk mengada-adakan sesuatu yang tidak benar dan tidak mempunyai dasar yang kuat, yaitu mengangkat anak (adopsi).

Apabila seseorang mengangkat anak orang lain menjadi anaknya pada masa Jahiliah, maka berlakulah bagi anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anak kandungnya sendiri, seperti terjadinya hubungan waris-mewarisi, hubungan mahram, dan sebagainya.

Kebiasaan bangsa Arab Jahiliah ini pernah dilakukan Nabi Muhammad sebelum turunnya Ayat ini. Beliau pernah mengangkat Zaid bin harisah menjadi anak angkatnya.

Zaid ini adalah putra harisah bin Syarahil dan berasal dari Bani thayyi’ di Syam. Ketika terjadi peperangan antara salah satu kabilah Arab dengan Bani thayyi’, Zaid kecil tertawan dan dijadikan budak. Kemudian Khalil dari suku Tihamah membeli Zaid dan lalu menjualnya kepada hakim bin ham bin Khuwailid.

hakim memberikan Zaid sebagai hadiah kepada Khadijah, saudara perempuan ayahnya. Setelah Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau tertarik kepada Zaid, maka Khadijah menghadiahkan Zaid kepada suaminya itu.

Mendengar kabar bahwa Zaid berada pada Muhammad, harisah, ayah Zaid, pergi dengan saudaranya ke Mekah dengan maksud menebus anaknya yang tercinta itu. Ia pun meminta kepada Muhammad agar menyerahkan Zaid.

Nabi Muhammad lalu memberi keleluasaan kepada Zaid untuk memutuskan sendiri, bahkan beliau tidak mau menerima tebusan. Setelah ditanyakan kepadanya, maka Zaid memilih untuk tetap bersama Nabi Muhammad, tidak mau ikut dengan bapaknya ke negeri Syam.

harisah dan saudaranya lalu berkata kepada Zaid, “Celakalah engkau Zaid, engkau lebih memilih perbudakan dari kemerdekaan.” Zaid menjawab, “Sesungguhnya aku melihat kebaikan pada laki-laki ini (Muhammad), yang menjadikanku tidak sanggup berpisah dengannya, dan aku tidak sanggup memilih orang lain selain dia untuk selama-lamanya.”

Nabi saw kemudian keluar menemui orang banyak dan berkata, “Saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa Zaid adalah anakku, aku akan mewarisinya, dan ia akan mewarisiku…” Mendengar hal yang demikian, hati harisah dan saudaranya menjadi senang, maka dipanggillah Zaid dengan “Zaid bin Muhammad” sampai turun Ayat ini.

Menurut Qurthubi, seluruh ahli tafsir sependapat bahwa Ayat ini diturunkan berhubungan dengan Zaid bin harisah itu.

DiriwAyatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan imam-imam hadis yang lain dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata, “Kami tidak pernah memanggil “Zaid bin harisah”, tetapi kami memanggilnya “Zaid bin Muhammad” hingga turunnya Ayat ini (al-Ahzab Ayat 5).” Dengan turunnya Ayat ini, Nabi saw berkata, “Engkau Zaid bin harisah.”

Pada akhir Ayat ini, Allah menegaskan lagi bahwa perkataan suami bahwa istrinya haram dicampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya, dan perbuatan mengangkat anak dan menjadikan kedudukannya sama dengan anak sendiri (kandung) adalah ucapan lidah saja, tidak mempunyai dasar agama atau pikiran yang benar.

Oleh karena itu, ucapan tersebut tidak akan menimbulkan akibat hukum sedikit pun. Allah mengatakan yang benar, sehingga mustahil istri dapat disamakan dengan ibu, sebagaimana mustahil pula orang lain dihukum sama dengan anaknya sendiri.

Semua anak itu menasabkan (membawa nama ayah sesudah nama sendiri) dirinya kepada ayah dan ibunya. Tidak mungkin seseorang mengatakan orang lain ayah dari seorang anak jika bukan keturunannya, sebagaimana tidak mungkin pula seseorang ibu mengatakan ia adalah ibu dari seorang anak, padahal ia tidak pernah melahirkannya. Oleh karena itu, Allah mengatakan perkataan yang benar dan lurus, maka ikutilah perkataan itu dan turutilah jalan lurus yang telah dibentangkan-Nya.

Dengan turunnya Ayat ini, maka hilanglah akibat-akibat buruk yang dialami oleh istri-istri karena zihar suaminya dan haramlah hukumnya mengangkat anak dan menjadikannya mempunyai hukum yang sama dengan anak kandung.

Adapun memelihara anak orang lain sebagai amal sosial untuk diasuh dan dididik dengan izin orang tuanya sendiri, tanpa waris-mewarisi, tidak menjadikannya sebagai mahram sebagaimana status anak kandung, dan masih dinasabkan kepada orang tuanya, maka hal itu tidak diharamkan, bahkan mendapat pahala.

Tafsir Quraish Shihab: Allah tidak pernah menciptakan dua hati dalam diri seseorang. Allah tidak menjadikan istri dari salah seorang di antara kalian yang berkata kepada istrinya, “Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku.” Dengan berkata seperti itu, sang istri seolah-olah menjadi ibunya.

Dan Allah tidak menjadikan kedudukan anak kalian dari hasil adopsi seperti kedudukan anak kandung. Hal itu–ketika kalian memberikan kedudukan anak angkat sama dengan kedudukan anak darah daging sendiri–adalah perkataan yang tidak ada sisi benarnya dan tidak ada dampak hukumnya.

Allah bermaksud menyatakan kebenaran dan membimbing kalian kepada kebenaran itu. Allahlah satu-satunya pemberi petunjuk manusia ke jalan kebenaran.

Surah Al-Ahzab Ayat 5
ٱدۡعُوهُمۡ لِءَابَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Terjemahan: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Tafsir Jalalain: Tetapi ٱدۡعُوهُمۡ لِءَابَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ (panggillah mereka dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih pertengahan) lebih adil عِندَ ٱللَّهِ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ (pada sisi Allah, dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian) yaitu anak-anak paman kalian.

Baca Juga:  Surah Al-Ahzab Ayat 56; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ (Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian khilaf padanya) dalam hal tersebut وَلَٰكِن (tetapi) yang berdosa itu ialah مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡ (apa yang disengaja oleh hati kalian) sesudah adanya larangan.

وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا (Dan adalah Allah Maha Pengampun) atas apa yang terlanjur kalian katakan sebelum adanya larangan رَّحِيمًا (lagi Maha Penyayang) kepada kalian.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: ٱدۡعُوهُمۡ لِءَابَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ (“Panggillah mereka [anak-anak angkat itu] dengan [memakai] nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah.”) ini merupakan perintah yang membatalkan hukum yang terjadi pada masa permulaan Islam tentang bolehnya mengakui anak pada anak orang lain. Maka Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak mereka yang sesungguhnya. Inilah keadilan, kebenaran dan kebaikan.

Al-Bukhari berkata dari Abdullah bin Umar ia mengatakan: “Dahulu kami tidak memanggil Zaid bin al-Haritsah, maula Rasulullah saw. kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, hingga turun al-Qur’an: ٱدۡعُوهُمۡ لِءَابَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ (“Panggillah mereka [anak-anak angkat itu] dengan [memakai] nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah.”) (diriwAyatkan oleh Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i)

Dahulu mereka memperlakukan anak-anak angkat mereka seperti anak-anak mereka sendiri dalam segala hal, berduaan dengan mahram dan lain-lain. Untuk itu Sahlah binti Suhail, istri Abu Hudzaifah bercerita: “Ya Rasulullah. Dahulu kami memanggil Salim sebagai anak. Sedangkan Allah telah menurunkan ketentuan-Nya. Dia pernah masuk kepadaku dan aku menemukan sesuatu pada diri Abu Hudzaifah yang ia tidak menyukainya.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Susukanlah dia olehmu, niscaya dia menjadi mahrammu.” (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa-i).

Untuk itu ketika hukum ini dinasakh [dihapuskan], Allah membolehkan menikahi janda istri anak angkat. Dan Rasulullah saw. mengawini Zainab binti Jahsy, istri Zaid bin al-Haritsah yang telah diceraikan.

Firman Allah: “Supaya tidak ada keberatan bagi Mukmin untuk [mengawini] istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari pada istrinya [menceraikannya].”(al-Ahzab: 37)

Allah berfirman dalam Ayat mahram: “Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu [menantu].” (an-Nisaa’: 23). Ayat ini sebagai peringatan tentang istri anak angkat, bahwa anak itu bukan anak kandung. Sedangkan anak susuan menempati kedudukan anak kandung sercaya hukum syara’ berdasarkan sabda Rasulullah di dalam kitab ash-Shahihain: “Haramkanlah oleh kalian dari susuan apa yang diharamkan karena nasab.”

Adapun menyebut orang lain dengan anak sebagai cara penghormatan dan kecintaan, maka tidak termasuk sesuatu yang dilarang oleh Ayat ini berdasarkan dalil hadits yang diriwAyatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan kecuali at-Tirmidzi dan Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: “Kami datang kepada Rasulullah saw. dan Ughailamah Bani ‘Abdil Muththalib yang sedang menghimpun batu jumrah untuk kami, sempat mengotori paha kami, dan beliau berkata: “Anakku, janganlah kalian melontar jumrah sebelum terbit matahari.” Ini adalah dalil yang jelas, dan ini terjadi pada waktu beliau mengerjakan haji wada’ pada tahun 10 Hijrah.

Firman-Nya: ٱدۡعُوهُمۡ لِءَابَآئِهِمۡ (“Panggillah mereka [anak-anak angkat itu] dengan [memakai]nama bapak-bapak mereka.”) adalah tentang Zaid bin al-Haritsah yang terbunuh pada perang Mu’tah tahun kedelapan. Di dalam shahih Muslim, bahwa Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Hai anakku.” (diriwAyatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Firman Allah: فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ (“Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka [panggillah mereka sebagai] saudara-saudaramu seagama atau maula-maulamu.”) Allah Ta’ala memerintahkan agar dikembalikannya nasab-nasab anak angkat kepada bapak-bapak mereka jika mereka mengetahuinya.

Dan jika mereka tidak mengetahuinya, maka mereka adalah saudara seagama dan maula, yaitu sebagai ganti dari nasab mereka yang hilang. Untuk itu Rasulullah saw. bersabda pada saat keluar dari kota Makkah pada tahun umrah qadla’ [setelah perjanjian Hudaibiyah].

Saat itu mereka diikuti oleh seorang putri Hamzah yang memanggil-manggil: “Hai paman. Hai paman.” Lalu Ali mengambilnya dan berkata kepada Fathimah: “Ambillah anak pamanmu.” Lalu Fathimah membawanya.

Maka terjadilah perdebatan antara ‘Ali, Zaid dan Ja’far tentang siapa di antara mereka yang lebih berhak memelihara anak itu. Dan masing-masing mengajukan dalil. ‘Ali berkata: “Aku lebih berhak terhadapnya, karena dia adalah puteri pamanku.”

Zaid berkata: “Dia puteri saudaraku.” Dan Ja’far bin Abi Thalib berkata: “Dia adalah putri pamanku dan bibinya berada di bawah pemeliharaanku, yaitu Asma’ binti Umais.” Lalu Nabi saw. memutuskan untuk dipelihara oleh bibinya dan beliau bersabda: “Bibi menempati kedudukan ibu.”

Beliau berkata kepada ‘Ali: “Engkau dariku dan aku dariku.” Dan beliau berkata kepada Ja’far: “Engkau mempunyai akhlak dan bentukku.” Dan beliau berkata kepada Zaid: “Engkau adalah saudara dan maula kami.”

Di dalam hadits ini terkandung banyak hukum. Di antara yang terbaik adalah bahwa Nabi saw. menetapkan hukum secara benar dan masing-masing orang yang bersengketa meridlainya serta sabda beliau kepada Zaid: “Engkau adalah saudara dan maula kami.”

Sebagaimana Allah berfirman: فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ (“[panggillah] saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.”) Ibnu Jarir berkata dari ‘Uyainah bin Abdurrahman dari ayahnya ia berkata: Abu Bakrah mengatakan:

Allah berfirman: فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ (“Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka [panggillah mereka sebagai] saudara-saudaramu seagama atau maula-maulamu.”) Aku adalah orang yang tidak dikenal [bapaknya], maka aku adalah saudara kalian seagama. Bapakku berkata: “Demi Allah,sesungguhnya aku menyangka seandainya dia mengetahui bahwa bapaknya adalah keledai niscaya akan menyandarkannya diri ke sana.”

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan: “Tidak ada seorangpun yang mengakui ayah kepada selain ayahnya, sedangkan dia mengetahuinya, melainkan dia telah kafir.” Ini merupakan peringatan dan ancaman yang keras bagi sebuah upaya untuk melepaskan diri dari nasab yang diketahui.

Untuk itu Allah berfirman: فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡ (“Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka [panggillah mereka sebagai] saudara-saudaramu seagama atau maula-maulamu.”)”

Kemudian Allah berfirman: وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ (“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya.”) yaitu jika ada sebagian di antara mereka yang kalian nasabkan kepada orang yang bukan ayah sebenarnya dikarenakan keliru setelah melakukan ijtihad dan dengan kemampuan yang maksimal, maka Allah telah menghapuskan kesulitan dan dosa dalam suatu kesalahan,

Baca Juga:  Surat Al Baqarah: Dari Alasan Penamaaan Hingga Kandungan Isinya

Sebagaimana yang diarahkan di dalam firman Allah yang memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa: rabbanaa laa tu-aakhidnaa innasiinaa au akhtha’naa (“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami, jika kami lupa atau keliru.”)(al-Baqarah: 282)

Di dalam Shahih Muslim, dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah berfirman, ‘Sesungguhnya aku sudah melakukannya.’”
Di dalam shahih al-Bukhari, bahwa, ‘Amr bin al-‘Ash berkata, Rasulullah bersabda: “Jika seorang hakim berijtihad, lalu tepat [keputusannya], maka baginya dua pahala. Jika seorang hakim berijtihad, lalu keliru [keputusannya], maka baginya satu pahala.”

Di dalam hadits lain: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengangkat [dosa] dari umatku tentang kesalahan, lupa dan perkara yang dipaksa untuk melakukannya.”

Firman Allah: وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (“Dan tidak ada dosa atasmu terhadapa apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi [yang ada dosanya] apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) yaitu, dosa hanyalah untuk orang yang melakukan kebathilan secara sengaja, sebagaimana firman Allah:

“Allah tidak menghukummu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud [untuk bersumpah], tetapi Allah menghukummu disebabkan [sumpahmu] yang disengaja [untuk bersumpah] oleh hatimu. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Baqarah: 225)

Dalam hadits yang lalu: “Tidak ada seorangpun yang mengakui ayah kepada selain ayahnya, sedangkan dia mengetahui, malainkan dia telah kafir.” Di dalam al-Qur’an yang dinasakh, tercantum bahwa kafir bagi kalian jika kalian benci kepada ayah-ayah kalian.

Imam Ahmad meriwAyatkan, bahwa Umar ra. mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad dengan kebenaran dan menurunkan Kitab bersamanya. Di antara yang diturunkannya adalah Ayat rajam. Lalu Rasulullah saw. melakukan rajam dan kami pun melakukan rajam setelah beliau.”

Kemudian Umar lebih lanjut mengatakan: Kami membaca: wa laa targhabuu ‘an aabaa-ikum fa innaHuu kufrum bikum an targhabuu ‘an aabaa-ikum (“Janganlah kamu membenci ayah-ayahmu, karena kebencianmu terhadap ayah-ayahmu merupakan perbuatan kufur”)

Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana dipujinya ‘Isa bin Maryam as. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’” Sedangkan yang dikatakan Ma’mar:

“Sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji ‘Isa bin Maryam.” Dan diriwayatkan dalam hadits lain: “Tiga perkara yang [jika] ada pada manusia menyebabkan kekufuran: penghinaan dalam keturunan, meratapi orang mati, minta hujan dengan [cara] ilmu nujum.”

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin menasabkan seorang anak hanya kepada bapak dan ibunya, karena anak itu berasal dari tulang sulbi bapaknya, kemudian dikandung dan dilahirkan oleh ibunya.

Menasabkan anak kepada orang tuanya adalah hukum Allah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslimin. Sebaliknya menasabkan anak kepada orang lain yang bukan orang tuanya bukanlah hukum Allah, tetapi adalah hukum yang dibuat-buat oleh manusia sendiri, sehingga hukumnya haram.

Pendapat ini disepakati oleh kebanyakan ulama yang mengatakan, “Mengangkat anak sehingga kedudukan anak angkat itu sama hukumnya dengan kedudukan anak kandung, seperti berhak mewarisi, menjadikan hubungan mahram, dan sebagainya termasuk dosa besar berdasarkan hadis:

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya atau menasabkan budak kepada selain tuannya, maka ia berhak mendapatkan laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya, Allah Ta’ala tidak menerima pemalingan dosa tebusan padanya. (RiwAyat al-Bukhari dan Muslim)

Hadis Nabi saw, beliau bersabda: Tidak ada seorang pun yang menasabkan kepada selain bapaknya, sedang ia mengetahui, melainkan dia telah kafir. (RiwAyat al-Bukhari dan Muslim dari Abu dzarr)

Pada lafal yang lain, juga diriwAyatkan al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya, sedang ia mengetahui bahwa laki-laki itu bukan bapaknya, maka haram atasnya surga. (RiwAyat al-Bukhari dan Muslim dari Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abu Bakrah)

Al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani membedakan antara pengakuan dan pengasuhan anak. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dan menasabkan anak itu kepadanya sehingga sama hukumnya dengan anak sendiri (kandung), mempunyai hak waris, menjadi mahram dan kerabat, hukumnya adalah haram.

Adapun jika seseorang mengambil anak dan memperlakukannya seperti anak sendiri, tetapi tidak menasabkan anak itu kepadanya dan tidak menyatakan sama kedudukannya dalam hukum dengan anak sendiri, maka Allah tidak mengharamkannya.

Ayat ini menerangkan bahwa jika seorang anak tidak diketahui ayahnya, dan ia dipelihara oleh seorang muslim yang lain, maka hubungan pemeliharaan dengan anak itu adalah hubungan saudara seagama atau hubungan tuan dengan maulanya (hamba yang telah dimerdekakan).

Oleh karena itu, dia harus memanggil anak itu dengan sebutan “saudara” atau “maula”. Orang lain pun diharapkan untuk menyebutnya demikian, umpamanya “Salim maula Huzaifah”, karena Salim ini sebelum datangnya agama Islam adalah budak Huzaifah yang tidak dikenal bapaknya.

Allah lalu menutup Ayat ini dengan menyatakan bahwa semua perbuatan dosa seperti menasabkan seorang anak kepada yang bukan ayahnya yang dilakukan sebelum Ayat ini turun, asalkan dihentikan setelah turunnya, akan diampuni Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Tafsir Quraish Shihab: Berilah anak-anak angkat itu silsilah keturunan dari jalur bapak kandung mereka, karena sesungguhnya hal itu akan lebih adil dalam pandangan Allah. Akan tetapi jika kalian tidak mengenali bapak kandung mereka, maka anak-anak itu menjadi saudara seagama dan penolong kalian.

Dan jika kalian menasabkan anak-anak itu bukan kepada bapak kandung mereka secara keliru, maka kalian tidak bersalah. Tapi jika kalian melakukannya dengan sengaja, maka kalian telah berbuat dosa. Allah Maha Mengampuni kesalahan yang tidak kalian sengaja dan Maha Menerima tobat dari dosa yang kalian lakukan dengan sengaja.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ahzab Ayat 4-5 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S