Surah Al-Kahfi Ayat 82; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Kahfi Ayat 82

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Kahfi Ayat 82 ini, mengisyaratkan Adapun yang menjadi pendorong bagi Khidir untuk menegakkan dinding itu adalah karena dibawahnya ada harta simpanan milik dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya seorang yang saleh.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah memerintahkan kepada Khidir supaya menegakkan dinding itu, karena jika dinding itu jatuh (roboh) niscaya harta simpanan tersebut akan nampak terlihat dan dikhawatirkan akan dicuri orang.

Allah menghendaki agar kedua anak yatim itu mencapai umur dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sendiri dari bawah dinding, sebagai rahmat dari pada-Nya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi Ayat 82

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا

Terjemahan: “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

Tafsir Jalalain: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ (Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota ini, dan di bawahnya ada harta benda simpanan) yakni harta yang terpendam berupa emas dan perak

لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh) maka dengan kesalehannya itu ia dapat memelihara kedua anaknya dan harta benda bagi keduanya

فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا (maka Rabbmu menghendaki agar mereka berdua sampai kepada kedewasaannya) sampai kepada usia dewasa وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ (dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu). Lafal Rahmatan menjadi Maf’ul Lah, sedangkan ‘Amilnya adalah lafal Araada

وَمَا فَعَلْتُهُ (dan bukanlah aku melakukannya itu) yaitu semua hal yang telah disebutkan tadi, yakni melubangi perahu, membunuh anak muda dan mendirikan tembok yang hampir roboh عَنْ أَمْرِي (menurut kemauanku sendiri) berdasarkan keinginanku sendiri, tetapi hal itu kulakukan berdasarkan perintah dan ilham dari Allah.

ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا (Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya)” lafal تَسْطِع menurut pendapat lain dibaca Isthaa’a dan Istathas’a artinya mampu.

Di dalam ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya terdapat berbagai macam ungkapan, yaitu terkadang memakai istilah Aradtu (aku menghendaki); terkadang memakai istilah Aradnaa (kami menghendaki), dan terkadang memakai istilah Araada Rabbuka (Rabbmu menghendaki). Hal ini dinamakan Jam’un Bainal Lughataini atau penganekaragaman ungkapan.

Tafsir Ibnu Katsir:di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan penyebutan al-Qaryah (kampung) dengan al-Madinah (kota), karena pada kali pertama, Dia berfirman: حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ (“Hingga ketika mereka sampai kepada penduduk suatu negeri.”) Sedangkan dalam ayat ini, Dia berfirman: لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ (“Adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota tersebut.”)

Pengertian ayat ini adalah bahwa dinding tersebut aku perbaiki karena ia adalah milik dua anak yatim yang ada di kota tersebut, dan di bawah dinding tersebut terdapat harta simpanan milik mereka berdua.

‘Ikrimah, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Dan di bawah dinding tersebut terdapat harta kekayaan yang dipendam milik mereka berdua. Dan yang demikian itu merupakan lahiriyah siyaq (redaksi) ayat di atas.” Itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Baca Juga:  Surah Yusuf Ayat 89-92; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Al-Aufi menceritakan dari IbnuAbbas: “Di bawah dinding itu terdapat simpanan ilmu.” Demikian pula yang dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair.
Sedangkan Mujahid berkata: “Yakni, shuhuf yang di dalamnya terdapat ilmu.”

Hal tersebut telah diperkuat oleh sebuah hadits marfu’. Abu Bakar Ahmad bin Amr binAbdul Khaliq al-Bazzar dalam Musnadnya yang terkenal, dari Abu Dzar, periwayatannya sampai kepada Rasulullah saw: “Bahwa harta simpanan yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya (al-Qur’an) adalah sebuah lempengan dari emas yang tertulis padanya kalimat:

“Aku merasa heran kepada orang yang yakin terhadap takdir, mengapa ia bisa merasa tidak bersemangat? Dan aku juga heran kepada orang yang mengingat neraka, mengapa ia masih bisa tertawa? Dan aku juga heran terhadap orang yang mengingat kematian, mengapa ia masih bisa lengah? Tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”
Mengenai hal ini, telah diriwayatkan beberapa atsar dari ulama Salaf.

Di dalam tafsirnya, Ibnu Jarir menyebutkan dari Na’im al-Anbari, yang ia merupakan teman duduk al-Hasan al-Bashri, ia bercerita, aku pernah mendengar al-Hasan al-Bashri berbicara tentang firman Allah Ta’ala: “Dan di bawahnya terdapat harta benda simpanan bagi mereka berdua,” yakni, lempengan emas yang di dalamnya tertulis:

“Dengan nama Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang. Aku heran terhadap orang yang beriman kepada takdir, mengapa ia bersedih. Aku juga heran terhadap orang yang beriman akan adanya kematian, mengapa ia masih bisa senang.

Aku merasa heran kepada orang yang mengetahui dunia dan goncangan yang dibuatnya terhadap penduduknya, bagaimana ia bisa merasa tenang. Tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.”

Firman-Nya: وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (“Sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.”) Di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang yang shalih akan senantiasa dipelihara keturunannya. Selain itu, juga mencakup berkah ibadah yang dilakukannya bagi anak keturunannya di dunia dan di akhirat melalui syafa’atnya bagi mereka.

Derajat mereka pun akan ditinggikan ke derajat paling tinggi di surga supaya hatinya merasa senang terhadap mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan yang disebutkan di dalam hadits.

Sa’id bin Jubair menceritakan dari Ibnu `Abbas bahwa kedua anak itu dipelihara karena keshalihan kedua orang tuanya. Keduanya tidak disebut sebagai anak yang shalih. Dan bapaknya adalah yang ketujuh. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا (“Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan impanannya itu.”) Di sini, iradah (kehendak) disandarkan kepada Allah Ta’ala, sampainya kedua anak itu pada kedewasaan tidak akan terwujud kecuali karena Allah.

Dan mengenai kedua anak itu, Khidhir berkata: فَأَرَدْنَا أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَاةً (“Dan kami menghendaki supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu.”) (QS. Al-Kahfi: 81).

Dan berkenaan dengan perahu, Khidhir berkata: فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا (“Dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.”) (QS. Al-Kahfi: 79). Wallahu a’lam.

Dan firman-Nya: رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي (“Sebagai rahmat dari Rabbmu dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.”) Maksudnya, apa yang telah aku lakukan dalam ketiga kondisi tersebut tidak lain merupakan rahmat dari Allah Ta’ala berkenaan dengan cerita tentang kisah pemilik perahu, orang tua anak, dan dua orang anak dari seorang yang shalih, dan apa yang telah kulakukan itu bukan atas kehendakku sendiri, tetapi aku diperintah untuk melakukannya.

Baca Juga:  Surah Al-Kahfi Ayat 19-20; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Di dalam hal tersebut terdapat dalil bagi orang yang menyatakan kenabian Khidhir as, ditambah lagi dengan apa yang telah difirmankan-Nya sebelumnya, yaitu firman-Nya:

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)

Para ulama lainnya mengatakan bahwa Khidhir adalah seorang Rasul. Ada juga yang berpendapat lain, bahwa ia adalah Malaikat. Demikian yang dinukil oleh al-Mawardi dalam tafsirnya.

Dan banyak ulama yang berpendapat bahwa ia bukan seorang Nabi, tetapi hanyalah seorang wali. Wallahu a’lam.

Dalam kitab al-Ma’aarif, Ibnu Qutaibah menyebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Khidhir bin Malikan bin Faligh bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh as. Mereka memberi gelar kepadanya dengan AbuAbbas, diberi laqab dengan sebutan Khidhir, ia adalah salah seorang anak raja. Demikian yang dikemukakan oleh an-Nawawi dalam kitab Tahdziibul Asmaa’.

Mengenai pendapat yang menyatakan bahwa Khidhir masih tetap hidup sampai sekarang ini dan sampai hari Kiamat, an-Nawawi dan ulama lainnya menceritakan dua pendapat. Bersama Ibnu Shalah, an-Nawawi lebih cenderung menyatakan bahwa Khidhir masih hidup.

Mengenai hal itu, mereka menyebutkan beberapa kisah dan atsar yang bersumber dari ulama Salaf dan juga yang lainnya. Bahkan ceritanya disebutkan di beberapa hadits, namun dari hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih.

Yang paling masyhur adalah beberapa hadits taziyah yang bersanad dha’if. Dan beberapa ahli hadits lain mentarjih pendapat yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Dalam hal itu, mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusi (Muhammad).” (QS. Al-Anbiyaa’: 34).

Juga dengan sabda Rasulullah saw. berikut ini saat terjadi perang Badar: “Ya Allah, jika Engkau membinasakan golongan ini, niscaya Engkau tidak akan disembah di muka bumi.” (HR Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

Dan juga bahwasanya tidak ada riwayat yang dinukil yang menunjukkan bahwa Khidhir pernah datang kepada Rasulullah saw., juga hadir di sisi beliau, berperang bersama beliau. Seandainya Khidhir masih hidup, niscaya ia akan menjadi salah satu pengikut Nabi sekaligus sebagai sahabatnya, karena beliau diutus kepada bangsa jin dan manusia.

Tidak lama sebelum meninggal dunia, beliau memberitahukan bahwasanya tidak ada seorang pun yang hidup di muka bumi ini lebih dari seratus tahun sejak malam itu, dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan, dari Humam, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Diberi nama Khidhir karena ia duduk di atas rumput kering, tiba-tiba rumput
itu bergerak dan berubah menjadi hijau.”

Menurut Abdurrazzaq, kata al-farwah berarti rumput kering. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu adalah di atas muka bumi.

Firman-Nya: ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا (“Demikian itu adalah penafsiran terhadap perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”) Artinya, hal itu merupakan penafsiran atas apa yang dimengerti oleh hati, sehingga aku memberitahukannya kepadamu lebih dahulu.

Baca Juga:  Surah Sad Ayat 71-85; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Setelah Khidhir menafsirkan dan menjelaskan serta menghilangkan kemusykilan tentang perbuatan tersebut, maka ia berkata: lam tasthi’ (“Yang engkau tidak dapat,”) dan sebelum itu, hal tersebut merupakan suatu yang sangat sukar lagi berat.

Lebih lanjut ia berkata: سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا (“Aku akan memberitahukan kepadamu penakwilan [tujuan perbuatan perbuatan] yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”) Kami jadikan Musa menghadapi yang sulit dengan yang sulit, dan yang ringan dengan yang ringan.

Sebagaimana yang Dia firmankan: fa mastathaa’uu ay yadh-HaruuHu (“Maka mereka tidak bisa mendakinya,”) yakni naik ke atas. Wa mastathaa’uu laHuu naqban (“Dan mereka tidak bisa pula melubanginya.”) (QS. Al-Kahfi: 97).

Ia lebih berat dari hal itu, sehingga ia menghadapkan segala sesuatunya sesuai dengan lafazh dan maknanya. Wallahu a’lam.

Jika dipertanyakan, lalu bagaimana dengan pemuda yang bersama Musa yang disebutkan pada awal cerita tetapi tidak disebutkan lagi setelah itu? Mengenai pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan siyaq ayat-ayat di atas adalah menceritakan kisah Musa bersama Khidhir dan peristiwa yang terjadi di antara keduanya.

Sedangkan pemuda itu hanya sekedar pengikut saja. Dalam hadits-hadits shahih di atas dan juga yang lainnya secara jelas disebutkan bahwa pemuda itu adalah Yusya’ bin Nun, dan dialah yang memimpin bani Israil setelah Musa as.

Tafsir Kemenag: Adapun yang menjadi pendorong bagi Khidir untuk menegakkan dinding itu adalah karena dibawahnya ada harta simpanan milik dua orang anak yatim di kota itu, sedangkan ayahnya seorang yang saleh. Allah memerintahkan kepada Khidir supaya menegakkan dinding itu, karena jika dinding itu jatuh (roboh) niscaya harta simpanan tersebut akan nampak terlihat dan dikhawatirkan akan dicuri orang.

Allah menghendaki agar kedua anak yatim itu mencapai umur dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sendiri dari bawah dinding, sebagai rahmat dari pada-Nya. Khidir tidak mengerjakan semua pekerjaan itu atas dorongan dan kemauannya sendiri melainkan semata-mata atas perintah Allah, karena sesuatu tindakan yang berakibat merugikan harta benda manusia dan pertumpahan darah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan izin dan wahyu dari Allah.

Demikianlah penjelasan Khidir tentang berbagai tindakannya yang tidak biasa yang membuat Nabi Musa tidak bisa sabar, sehingga empertanyakannya.

Usaha Khidir untuk menegakkan dinding yang hampir roboh, dapat pula dipahami kebijaksanaannya karena robohnya dinding itu mengakibatkan harta benda simpanan dua anak yatim itu diambil orang.

Allah telah memberikan kepada Khidir ilmu hakekat dan hal ini tidak mungkin dimilikinya kecuali setelah membersihkan dirinya dan hatinya dari ikatan syahwat jasmani.

Nabi Musa ketika telah sempurna ilmu syariatnya diutus oleh Tuhan untuk menemui Khidir supaya belajar dari padanya ilmu hakekat, sehingga sempurnalah ilmu yang wajib dituntut oleh setiap orang yang beriman yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf atau iman, Islam dan ihsan.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al- Kahfi Ayat 82 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Kemenag. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S