Pecihitam.org – Tawasul ialah aktivitas mengambil sarana atau wasilah agar doa atau ibadahnya dapat diterima, diijabah atau dikabulkan. Dalam masyarakat kita secara umum banyak yang menggunakan tawasul dalam kehidupannya. Terutama bagi yang menganut mahdzab Imam Syafi’i. Tawasul ini adalah salah satu faktor agar doa yang kita panjatkan mustajab.
Daftar Pembahasan:
Pengertian Tawasul
Secara bahasa, Tawassul yakni Al-wasilah yang berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah Tawasul yaitu segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah SWT yaitu berupa amal kebaikan atau ketaatan yang disyariatkan.
Tawassul juga dapat diartikan dengan berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal kebaikan ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah.
أَلْوَسِيْلَةُ وَهِيَ مَا يُتَقَرَّبُ اِلَى الشَّيْئِ وَتَوَسَّلَ اِلَى رَبِّهِ بِوَسِيْلَةِ تَقَرُّبٍ اِلَيْهِ بِعَمَلِهِ
Artinya: “Wasilah adalah sesuatau yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang lain. seseorang bertawassul kepada Tuhannya melalui wasilah (media) Taqorrub dengan amal ibadahnya.” (Kamus Al Misbah Al Munir)
Hukum Tawasul
Ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa Tawasul adalah perbuatan syirik karena berdoa kepada selain Allah. Selain itu tawasul juga tidak ada tuntunannya dari nabi.
Padahal pada prinsipnya agama Islam sangat memerintahkan pemeluknya untuk bertawasul atau upaya membangun jembatan penghubung antara mereka dan Allah. Perintah ini juga secara jelas tersurat terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 35 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Artinya, “Hai orang yang beriman, takwalah kepada Allah. Carilah wasilah kepada-Nya.”
Dari ayat ini, ulama memutuskan bahwa tawasul adalah sesuatu yang disyariatkan oleh Islam. Ayat ini dengan jelas meminta umat Islam untuk membuat anak tangga yang menghubungkan seseorang kepada Allah.
Para ulama madzhab juga sepakat bahwa tawasul yang dimaksud adalah amal saleh sebagai jalan yang menyertai seseorang dalam doanya. Karena amal saleh dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhan-Nya. Amal saleh inilah yang dijadikan tawasul atau wasilah agar hajat-hajat yang didoakan orang tersebut dikabulkan oleh Allah Swt.
Sampai di sini ulama tidak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat para ulama terjadi ketika membahas sesuatu yang dijadikan tawasul (al-mutawassal bih). Perlu digarisbawahi sekali lagi, ini perbedaan pendapat. Sehingga diperlukan sikap saling menghormati perbedaan tersebut.
Sebagian ulama membolehkan seseorang untuk bertawasul dengan orang-orang shaleh atau benda tertentu. Sedangkan sebagian kelompok ulama lainnya mengharamkannya. Akan tetapi sebenarnya perbedaan pandangan keduanya bukan perbedaan prinsipil, hanya perbedaan formalitas belaka. Hal ini sebagaiman penjelasan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki berikut ini:
ومحل الخلاف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوسِّل كالتوسل بالذوات والأشخاص… وسأبين كيف أن المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوسِّل بعمله المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو لأنه يحبه إذ يعتقد صلاحه وولايته وفضله تحسينا للظن به، أو لأنه يعتقد أن هذا الشخص محبّ لله سبحانه وتعالى يجاهد في سبيل الله، أو لأنه يعتقد أن الله تعالى يحبه كما قال تعالى يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ، أو لاعتقاد هذه الأمور كلها في الشخص المتوسَّل به… وبهذا ظهر أن الخلاف في الحقيقة شكلي ولا يقتضي هذا التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين وإخراجهم عن دائرة الإسلام، سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Artinya, “Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang tertentu… Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam orang yang dijadikan tawasul tersebut… Dari uraian ini jelas bahwa perbedaan itu hakikatnya bersifat formal. Jangan sampai perbedaan formalitas ini membawa perpecahan dan pertikaian dengan memvonis kekufuran bagi umat Islam yang mengamalkan tawasul atau bahkan mengusir mereka dari lingkungan Islam sebagai firman-Nya, ‘Mahasuci Engkau, ini merupakan bohong besar,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 124-125).
Dari sini jelas sekali di mana titik kesepakatan dan perbedaan padangan ulama terkait tawasul. Semua ulama sepakat bahwa tawasul dengan amal saleh hukumnya boleh menurut syariat. Meski mereka berbeda pendapat perihal tawasul dengan benda atau orang-orang tertentu yang dianggap shaleh.
Macam-macam Tawasul
Adapun, berikut adalah macam-macam yang benar berdasarkan keterangan para ulama:
1. Tawassul bi asmaillah (tawassul dengan nama Allah).
Ini adalah tawasul yang paling tinggi. Misalnya ketika bedoa seseorang bertawasul dengan perkataan a‘udzu biqudratillah, a‘udzu bi izzatillah dan yang lainnya.
Tawassul ini juga bisa dilakukan dengan menyebut Asmaul Husna secara lengkap atau sebagian atau dengan ismul a’dham. Ismul a’dham, merupakan kata kunci untuk berdoa dan oa tawasul yang disertai dengan Ismul A’dham insyallah sangat mustajab.
Ismul a’dham ini disamarkan, namun bisa dipelajari, misalnya dalam kitab Fatawa Nawawi karya Imam Nawawi, disebutkan tentang Ismul a’dham.
2. Tawasul bi a’mal shalihat (tawassul dengan amal yang baik).
Dalam kitab Riyadus Shalihin dikisahkan, pernah ada 3 orang sahabat, yang kemudian dalam perjalanan mereka menemukan gua. Karena penasaran, ketiganya memasuki gua tersebut.
Setelah sudah masuk, tiba-tiba terjadi angin kencang yang merobohkan batu besar sehingga menutupi mulut gua tersebut. Mereka mengalami kesulitan untuk keluar, seminggu tidak makan dan memanggil-manggil orang tidak ada yang mendengar, lalu ketiganya bermuhasabah.
Seseorang dari mereka berdoa dan bertawassul menyebut perbuatan birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua). Akhirnya batu terbuka sedikit demi sedikit dan ada sinar matahari. Kemudian yang lain berdoa dengan amal unggulannya, akhirnya batu tergeser, mulut gua tersebut terbuka dan akhirnya mereka dapat keluar.
3. Tawassul bis shalihin (tawassul dengan orang-orang shalih).
Tawasul kepada orang-orang sholeh, baik orang sholeh masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Diceritakan dalam hadits shahih, ada salah satu sahabat yang buta, dan ingin bisa melihat.
Kemudian ia tawassul Allahumma inni as’aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati hadzihi… (Ya Allah saya meminta dan menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi dalam memenuhi kebutuhan saya ini…). Akhirnya sahabat tersebut bisa melihat.
4. Tawassul bi dzat (tawassul dengan dzat).
Cara melakukan tawassul semacam ini, misalnya bi jahi (dengan kedudukan), bi hurmati (dengan kemuliaan), bi karamati (dengan kemurahan). Salah satu contoh tawassul bi dzat adalah Shalawat Nariyah. Shalawat Nariyah ini konon juga salah satu tawasul yang mustajab, karena sudah banyak yang membuktikannya.
Contoh Bacaan Tawasul
Ada banyak sekali lafadz-lafadz tawasul yang biasa digunakan masyarakat. Diantaranya adalah Khusushan Tawasul Tahlil Fatihah yang terdapat dalam buku Tahlil dan Yasin berikut:
إلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْفَاتِحَةْ
ثُمَّ إلَى حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَاْلأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَاْلعُلَمَاءِ وَاْلمُصَنِّفِيْنَ وَجَمِيْعِ اْلمَلاَئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ اَلْفَاتِحَةْ
ثُمَّ إليَ جَمِيْعِ أَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ اْلاَرْضِ وَمَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا خُصُوْصًا اَبَاءَنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادَنَا وَجَدَّاتِنَا وَمَشَايِخَنَا وَمَشَايِخَ مَشَايِخِنَا
وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَهُنَا بِسَبَبِهِ وَخُصُوْصًا……… اَلْفَاتِحَةْ
Dilanjutkan dengan Tahlil dan doa …
Jika kita perhatikan dengan seksama ternyata rukun sholat juga mengandung tawasul yaitu pada duduk tahiyat terakhir. Pada rukun tersebut wajib membaca tasyahud atau tahiyat, dalam tahiyat iku juga wajib memabaca sholawat jika tidak maka sholatnya tidak sah.
Maka dari itu hal tersebut juga termasuk tawassul menyebut nabi di dalam doa, karena sholat iku makna aslinya dalam bahasa adalah الدعاء (doa). Itulah beberapa keterangan mengenai tawasul, semoga dengan tawasul yang benar dan keihklasan doa hajat-hajat kita segera mustajab. Wallahu’alam Bisshawab.