Inilah Sebab-sebab Terjadinya Fasakh dalam Pernikahan

fasakh dalam pernikahan

Pecihitam.org – Fasakh atau bahasa umumnya dikenal dengan kata batal yang berarti sebagai rusaknya atau batalnya suatu amalan seseorang, baik karena tidak memenuhi suatu syarat maupun rukun yang telah ditetapkan oleh Syara. Tidak hanya itu, fasakh bisa pun melingkup pada perbuatan perbuatan yang dilarang dan diharamkan oleh agama. Sehingga dari perpaduan antara kata Fasakh dan pernikahan akan berarti rusak atau tidak sahnya pernikahan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukun ataupun karena sebab lain yang merupakan terlarang dan haram dalam pandangan Agama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sedangkan Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad nikah, bukan meninggalkan. Pada hakikatnya fasakh ini lebih keras daripada khulu’ (Melepaskan) dan ubahnya seperti melakukan khulu’ pula. Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan ada beberapa hal.

Perbedaannya adalah, khulu’ diucapkan oleh suami sendiri, sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi (Seorang hakim yang membuat keputusan bedasarkan syariat Islam) nikah setelah istri mengadu kepadanya dengan memulangkan maharnya kembali.

Dan berikut sebab-sebab terjadinya fasakh dalam pernikahan:

Fasakh karena syarat syarat tidak terpenuhi ketika akad nikah.

Seperti setelah akad nikah ternyata baru diketahui bahwasanya sang istri adalah saudara kandung atau saudara sesusuan dari pihak suami.

Fasakh karena hal hal yang datang setelah akad,

Seperti bilamana salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama dan tidak akan kembali sama sekali. Sehingga dari hal ini akadnya fasakh atau batak karena kemurtadan yang terjadi belakangan.

Karena ada balak (Penyakit belang kulit)

Dalam kaitan ini Rasulullah bersabda Dari Ka’ab bin Zaid r.a. bahwasanya Rasulullah Saw pernah menikahi seorang perempuan Bani Gifa. Maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling ( pergi dari pelaminan itu) seraya berkata: Ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barangyang yang diberikan kepada perempuan itu.

Karena Adanya penyakit kusta

Baca Juga:  Hukum Memajang Foto dalam Islam Menurut Mufassir, Benarkah Haram?

Berkenaan hal ini Umar r.a. berkata: Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan pada perempuan itu terdapat tanda-tanda gila atau berpenyakit kusta, lalu disetubuhinya perempuan itu, maka hak bagi¬nya menikahinya dengan sempurna. Dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas walinya.

Karena adanya penyakit menular seperti Sipilis, TBC, dan lain sebagainya.

Seperti pada salah satu riwayat Dari Said bin Musayyab r.a. berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu ada tanda-tanda gila, atau ada tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap (dalam perkawinannya) jika ia berkehendak cerai, maka si perempuan itu boleh bercerai.

Karena ada daging pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (Bersetubuh)

Seperti pada salah satu riwayat Dari Ali r.a. berkata Barangsiapa laki-laki yang mengawini perempuan, lalu dukhul dengan perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak (penyakit belang kulit), gila, atau berpenyakit kusta, maka hak baginya maskawin dengan sebab menyentuh (mencampuri) perempuan itu, dan maskawin itu hak bagi suami (supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh (di farajnya, hingga menghalangi jima’) suami itu khiyar (memilih). Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya maskawin sebab barang yang telah dihalalkannya dengan farajnya.

Karena ‘Anah (Zakar laki laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksud dengan akad nikah. Dari Sa’id bin Musayyab r.a., berkata Umar bin Khattab telah memutuskan bahwasanya laki laki ‘anah diberi janji satu tahun.

Baca Juga:  Wasiat Wajibah, Alternatif Memberikan Harta Waris kepada Anak Angkat

Diberi janji satu tahun disini dimaksudkan dengan tujuan agar mengetahui dengan jelas bahwa suami itu ‘anah atau memang tidak mungkin bisa sembuh.

Di samping itu, sebab sebab fasakh dalam pernikahan juga bisa terjadi sebagai berikut:

  • Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
  • Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula membelikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
  • Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.

Pertanyaannya kemudian ialah apakah pisahnya suami istri akibat fasakh sama dengan pisahnya suami istri karena talak?

Ahli Fiqh golongan Hanafi membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Kata mereka

Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh. (lihat sayyid sabiq, hlm.269)

Baca Juga:  Hukum Narkoba dalam Islam, Apakah Termasuk Khamr?

Selain itu yang perlu diketahui ialah Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talaq. Sebab talaq ada talaq ba’in dan talaq raj’i.

Talaq raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika sedang talaq ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh. baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talaq dapat mengurangi bilangan talaq itu sendiri. Jika suami menalaq istrinya dengan talaq raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru. maka perbuatannya terhitung satu talaq, yang ia masih ada dua kali kesempatan dua talaq lagi.

Sedangkan pisahnya suami istri karena fasakh. hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talaq, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talaq.

Sekiranya itulah sebab sebab terjadinya fasakh dalam perkawinan, semoga bermanfaat..


Sumber referensi: Fiqh Munakahat oleh Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A.

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *