Kekerasan Politik yang Berujung pada Politik Kekerasan

politik kekerasan

Pecihitam.org – Kekerasan politik menjadi hal yang tidak jarang lagi terjadi baik sebelum maupun sesudah Reformasi di Indonesia. Potret kekeras yang terjadi pada pemilu 1999 di Jawa Timur tercatat telah terjadi 90 kasus kekerasan. Dan didominasi oleh jenis kekerasan berupa pengrusakan/pembakaran kantor-kantor pemerintahan. Hal yang sama kembali terjadi berupa polemik yang muncul akibat dari demo September 2019 ini. Yang dilakukan oleh para aktivis yang mengatasnamakan mahasiswa maupun pelajar yang bisa kita sebut dengan ‘akademisi’, yang mencoba melawan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh para anggota legislatif negara yakni DPR yang kita sebut dengan “legislator”. Dari kedua kelompok yang saling menginternalisasikan ke dalam pikiran-pikiran masyarakat umum bahwa mereka adalah ‘wakil rakyat yang merakyat’.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Relawan yang berdatangan untuk menyuarakan suara rakyat dengan menggunakan fungsi keberadaan demokrasi di negara Indonesia. Ini sebenarnya memberikan wacana baru terhadap dampak yang diberikan terhadap konflik yang sedang terjadi sekarang ini yakni berupa kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh berbagai pihak dari aparat negara sebagai salah satu cara untuk mengatasi kericuhan yang terjadi pada saat demo membuat makin memanasnya kondisi politik dan pandangan publik terhadap aparat pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya hegemoni bahwa publik memahami kekerasan itu dilakukan oleh negara.

Baca Juga:  Sumber Sama, Mengapa Banyak Perbedaan Pendapat dalam Islam?

Kekerasan politik yang telah hadir dari tahun 1999 sebagai suatu dampak pemilu pada masa itu, mengandung makna bahwa kekerasan tidak hanya berlaku tafsir tunggal. Tapi kekerasan politik sebenarnya bisa dilakukan oleh aktor negara maupun non negara. Hal ini seperti kekerasan yang terjadi pada demo yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar, yang sebenarnya ingin mengaspirasikan suara rakyat tapi berakhir dengan kegaduhan.

Hal ini disebabkan karena di tengah para pendemo terdapat penyusup yang mengatasnamakan agama sebagai pondasi negara. Sehingga menginginkan negara Islam dan menurunkan Presiden RI periode 2019-2024 kemudian menaikkan salah satu ulama terpandang untuk menjadi pengganti dalam memimpin negara Indonesia. Ahasil, mereka mendapatkan perlakuan represif sebagai akibat dari perilaku buruk oleh para oknum yang mengatasnamakan mahasiswa dan pelajar yang tidak sewajarnya dilakukan pada saat demonstrasi sedang berlangsung.

Baca Juga:  Nalar Kekerasan Kaum Islam Radikal dan Utopia Kejayaan Masa Lalu
Opini Publik

Kekerasan politik yang dilakukan oleh para aparatur negara membentuk opini tersendiri bahwa pemerintah berlaku represif terhadap suara rakyat. Padahal sebenarnya ini seperti teori sebab-akibat. Di mana sebab berupa adanya tuntutan rakyat dengan jalan demonstrasi. Sedangkan akibatnya berupa tindakan represif yang dilakukan oleh segelintir oknum aparatur negara terhadap para pendemo. Isu-isu politis seperti ini yang kemudian coba untuk dimanfaatkan oleh para oknum berkepentingan yang jauh dari kepentingan rakyat. Melainkan hanya berdiri pada kepentingan organisasi atau kelompok politiknya saja guna dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan (Power).

Tindak kekerasan dalam politik diasumsikan sebagai suatu hal yang secara sadar dan sengaja guna mereproduksi dan mentransformasikan realitas sosial di masyarakat. Para pelaku yang melakukan tindakan tersebut relatif otonom dan lebih mengutamakan rasionya. Para pelaku sebenarnya telah melanggar berbagai ‘faktor dalam’ dan kendala ‘struktural’ bahkan proses-proses sosial di dalamnya. Seperti halnya nilai dan norma yang terstruktur dalam suatu negara bangsa seperti Indonesia justru hanya dipandang sebagai ‘imperatif struktural’ yang terkonsep dan terinternalisasi dalam diri setiap individunya. Hal itulah yang membuat perilaku kekerasan politik dilihat sebagai hasil dari produk struktural karena dilihat dari berbagai ‘faktor luar’ dari para pelaku kekerasan.

Baca Juga:  Sepak Terjang Khawarij dan Pergulatan Politik Berujung Kekerasan di Indonesia

Kekerasan dalam politik dipandang bersifat inheren yakni secara biologis ada dalam diri manusia bahkan juga terdapat pada hewan/binatang. Hal itu bukan berarti dapat disalah artikan bahwa pemerintah boleh memberlakukan kekerasan selama itu masih dalam taraf kewajaran, dan seharusnya aparatur negara menjalankan fungsi utamanya untuk mengamankan negara dan rakyatnya. Begitupun dengan para pendemo seharusnya tetap dalam koridor untuk menyuarakan suara rakyat demi kepentingan bersama bukan sekedar ego pribadi maupun kelompok aliansi tertentu saja.

Oleh: Indriani Pratami

Indriani Pratami
Latest posts by Indriani Pratami (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *