KH. Ahmad Suhaimi Jahari, Abah Guru Orang Sukamara Kalteng

ahmad suhaimi jahari

Pecihitam.org – Menjadi seorang ulama yang dimuliakan oleh masyarakat suatu kampung atau kota mungkin terkesan hal yang biasa, sebab hampir di setiap daerah di negeri ini terdapat setidaknya satu atau lebih tokoh yang “dituakan”.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tapi menghabiskan separuh umur demi menghidupkan dan membina keagamaan suatu masyarakat di sebuah daerah yang sedang bertumbuh adalah tantangan tersendiri bagi seorang KH. Ahmad Suhaimi Jahari, abah guru orang sukamara.

Beliau adalah seorang ulama, guru ilmu agama, pendidik rohani, suri tauladan dan sosok “ayah” yang dimuliakan dan dicintai oleh masyarakat kota kecil di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat itu. Panggilan “Abah Suhaimi” menunjukkan kedekatan yang sangat erat serasa sedarah-sedaging antara para murid dan masyarakat Sukamara dengan beliau.

KH. Ahmad Suhaimi bin Jahari bin Ahmad Zaini lahir pada malam Jumat tanggal 13 Ramadan 1366 H atau bertepatan tanggal 10 Februari 1944 M di Desa Pulau Nibung Hilir, salah satu desa Kecamatan Jelai Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah.

Konon, nama Ahmad Suhaimi diberikan oleh seorang ulama masa itu, KH. Zaini atau Tuan Guru H. Herman, seorang penghulu dan pendiri Madrasah pertama di Sukamara tahun 1957. Nama tersebut terinspirasi dari nama seorang ulama besar Melayu yang masyhur di Asia Tenggara, yakni Syaikh Suhaimi, pengarang kitab-kitab suluk dan tauhid, seperti al-Futuhat al-Ilahiyah fi Bayani Kaifiyat al-Thariqah al-Ghazaliyah dan lain-lain.

Beliau dilahirkan dari seorang Ibu bernama Arpiah dan ayahnya seorang relawan pejuang kemerdekaan sekaligus tokoh agama di Kecamatan Jelai bernama Jahari. Di bawah bimbingan langsung ayahnya inilah Abah Suhaimi mengecap ilmu pengetahuan, serta dari kakek beliau, Busu Pasi, khususnya tentang ilmu al-Qur`an dan akhlak.

Sejak kecil sudah tampak pada pribadi beliau kegemaran belajar agama dan menyukai kegiatan-kegiatan keagamaan. Selepas lulus dari Sekolah Rakyat tahun 1959, sembari belajar agama di Madrasah sore hingga tahun 1957, beliau melanjutkan sekolah ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di kota Pangkalan Bun.

Namun baru satu tahun belajar di sana Abah Ahmad Suhaimi Jahari justru memutuskan untuk nyantri di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Keputusan itu terbilang besar bagi seorang pemuda kampung yang harus menempuh perjalanan lebih dari 24 jam dengan fasilitas transportasi yang belum memadai kala itu dari ujung barat Kalimantan Tengah ke kota Martapura di Kalimantan Selatan.

Baca Juga:  Mengenal Jalaluddin al-Suyuti dan Karya-karyanya, Ulama Klasik Rujukan Banyak Ulama

Tapi perjalanan itu tidaklah sia-sia. Di pesantren itulah Abah Suhaimi bisa berguru langsung dengan KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang dikenal dengan Abah Guru Sekumpul.

Ada cerita menarik yang pernah Abah Suhaimi ceritakan kepada saya tentang pengalaman beliau belajar dengan Abah Guru Sekumpul. Pada hari ujian, sebelum ujian dimulai, seorang kawan menyelipkan kitab di sarungnya.

Beberapa menit kemudian Abah Guru Sekumpul masuk ruangan dan entah bagaimana beliau mengetahuinya, beliau langsung menegur kawan santri itu agar mengeluarkan kitab yang disembunyikannya.

Bagi Abah Suhaimi pengalaman itu semakin menebalkan keyakinannya akan karamah Abah Guru Sekumpul, sosok yang ilmu-ilmunya beliau serap dan tebarkan kepada kaum muslimin Sukamara di kemudian hari, selepas melewati tingkat-tingkat belajar – Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah – di Pondok Pesantren Darussalam Martapura dan lulus pada tahun 1970.

Sukamara dulunya bukanlah sebuah kabupaten seperti sekarang. Daerah ini sebenarnya hanyalah desa kecil yang sempat disebut oleh J.J. Ras dalam Hikajat Bandjar yang masyhur itu.

Saat Abah Suhaimi pulang dengan membawa seorang gadis Martapura yang telah dinikahinya beserta seorang anak perempuannya, Sukamara telah berubah dan berkembang maju sebagai wilayah administratif kecamatan di bawah pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Barat – kemudian baru berubah jadi kabupaten tersendiri pada tahun 2002.

Meskipun perkembangannya  terbilang tidak terlalu cepat, Sukamara adalah daerah yang bergerak menuju kota yang kosmopolit. Pergerakan itu harus dibarengi dengan sumber daya manusia yang siap menghadapi segala tantangan perubahan dalam kehidupan, termasuk bidang keagamaan Islam.

Abah Suhaimi nampaknya menyadari hal tersebut. Religiusitas masyarakat Sukamara ketika itu terbilang masih memerlukan banyak bimbingan keagamaan yang mumpuni dan sosok yang tepat untuk itu tentu saja dinanti-nanti. Sebagai lulusan pesantren, beliau merasa bertanggung jawab terhadap keberagamaan masyarakat daerahnya sebagai wujud kecintaan Abah Suhaimi terhadap kampung halamannya.

Maka mulailah beliau membuka dan menyelenggarakan majelis pengajian, memimpin kegiatan-kegiatan ibadah ritual, melayani kebutuhan-kebutuhan religius masyarakat: dari berceramah agama di masjid-masjid dan suaru-suaru sampai dimintai doa oleh seseorang yang baru melahirkan anak atau menginginkan jodoh.

Baca Juga:  Biografi KH Hasyim Muzadi, Ulama yang Nasionalis dan Pluralis

Inisiatif untuk mengabdi kepada masyarakat bertemu secara sempurna dengan kebutuhan masyarakat akan sosok penghulu agama. Si santri lalu menjadi Abah Guru orang Sukamara. Dalam berdakwah dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada kaum muslimin yang baru tumbuh dan berkembang.

Abah Suhaimi fokus mengajarkan ilmu Fiqih, khususnya praktek-praktek ritual ibadah. Namun pada masa-masa terakhir kiprah dakwahnya dan ditujukan kepada kalangan murid yang cukup terbatas, beliau juga mengajarkan Tasawuf yang tampaknya merupakan bidang ilmu keahlian beliau.

Pemikiran tasawuf Abah Suhaimi meliputi tasawuf akhlaki yang mengajarkan bagaimana melembutkan hati dan mem-fana-kan diri, serta tasawuf falsafi yang berisi bahasan-bahasan teosofis tentang ketuhanan dan hakikat alam semesta.

Pengaruh ajaran tasawuf yang didapat beliau semasa mengaji kepada tuan-tuan guru di Martapura begitu terasa dalam uraian-uraian ceramah beliau. Bagi Abah Suhaimi, alam semesta diciptakan Allah dari ruh universal yang disebut dengan Nur Muhammad.

Saya cukup beruntung bisa mewarisi dan menyimpan catatan-catatan kecil Abah Suhaimi berisi materi-materi yang disampaikan beliau dalam majelis tasawuf itu. Adapun catatan-catatan lain dan kitab-kitab koleksi Abah Suhaimi sampai hari ini disimpan dengan baik oleh putra beliau.

Sepanjang pelaksanaan misi kegamaan itu Abah Suhaimi juga sempat mendirikan pesantren dan memiliki sejumlah murid yang juga sukses menjadi penghulu agama di kampunya masing-masing. Sayangnya pesantren bernama Nurul Anwar itu tidak bertahan lama.

Hal itu, salah satunya, karena pendidikan Islam formal masih belum cukup populer di kalangan masyarakat Sukamara kala itu, sementara kalangan masyarakat kelas atas lebih cenderung mengirimkan anak-anaknya belajar ke kota-kota besar dan menetap di sana.

Seperti halnya pesantren Nurul Anwar, kiprah dakwah Abah Suhaimi tidak selalu berjalan mulus. Sebagai penghulu agama yang berjuang sendirian, beliau juga mendapat tantangan serius dari beberapa gelintir pihak. Abah Suhaimi bahkan pernah dituduh menyimpang karena tasawuf yang beliau ajarkan.

Namun beliau mampu menepis dan menjelaskan dengan terang untuk menjawab tuduhan itu. Ilmu yang dipelajari dengan giat, ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan sanad keilmuan yang jelas, sulit dimentahkan.

Selain berdakwah beliau juga dipercaya oleh masyarakat sebagai Anggota DPRD Kabupaten Sukamara periode 2014 -2009, juga dipercaya untuk menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sukamara selama 3 Periode, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Sukamara 2 periode.

Baca Juga:  Biografi Gus Baha', Mufassir dan Faqihul Qur'an Indonesia

Abah Suhaimi juga memimpin Yayasan Pendidikan Islam Darul Arqom Sukamara sejak tahun 1990 hingga 2013, Ketua Majelis hakim Musabaqah Tilawatil Qur`an tingkat kabupaten Sukamara untuk beberapa kali penyelenggaraan, serta masih banyak lagi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang dipimpin oleh beliau. Predikat abah guru orang sukamara semakin pantas disematkan kepada beliau.

Meskipun visi keagamaan beliau adalah Islam tradisional nusantara, Abah Suhaimi tetap bersikap terbuka terhadap nilai-nilai kemodernan. Salah seorang murid yang sering mengikuti pengajian beliau menceritakan bahwa dulunya Abah Suhaimi menganggap bahasa Inggris itu tidak terlalu penting.

Namun ketika putra semata wayang beliau pulang kampung setelah selesai belajar di Pondok Pesantren Darul Hijrah Martapura – pesantren yang berhaluan modern – pendirian beliau berubah arah. Abah Suhaimi bahkan meminta sang putra untuk mengajari beliau bahasa Inggris, meski tidak terlalu intensif. Sejak saat itu, dalam pergaulan sehari-hari Abah Suhaimi sesekali mengeluarkan kemampuan berbahasa Inggris beliau.

Karena itulah Abah Suhaimi dikenal sebagai sosok yang tegas, moderat, penyayang dan gemar menuntut ilmu, menyampaikan dakwah  ke berbagai tempat, hampir di semua wilayah Kabupaten Sukamara, hingga di pelosok-pelosok perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Perpaduan antara al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih (menjaga tradisi lama yang baik) dan al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (adaptasi hal baru yang lebih baik) benar-benar terpatri dalam diri Abah Suhaimi.

Barangkali sikap moderat beliau akan lebih nampak jika saja beliau lebih panjang usia. 15 Dzulqa’dah 1434 H atau 21 september 2013 adalah hari wafatnya. Sang Abah Guru Orang Sukamara meninggalkan banyak ilmu dan kenangan bagi masyarakat Sukamara.

Tulisan ini dibuat berdasarkan pertemuan tak lama penulis dengan KH. Ahmad Suhaimi Jahari (hanya tiga bulan) serta kenangan, informasi dan kesaksian ahli waris dan murid-murid beliau. Isi telah disunting ahli waris dan disetujui untuk diterbitkan. Selanjutnya tulisan ini tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Yunizar Ramadhani