Pecihitam.org – Siapa yang tidak kenal dengan KH. Maimoen Zubair, atau lebih sering dipanggil Mbah Moen, seorang kiai zuhud dan kharismatik dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Santri-santrinya dari Pondok Pesantren Al Anwar menyebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Mbah Moen wafat pada hari selasa 6 Agustus 2019 M atau 5 Dzulhijjah 1440 H di Mekkah Al Mukarammah. Sebagai seorang ulama teladan, semasa hidupnya beliau menjadi tempat konsultasi dan curhat bagi lintas kalangan dari masyarakat bawah hingga atas. Mulai dari petani, nelayan, pedagang, santri, sesama kyai, tokoh politik, budayawan, dan masih banyak lagi.
Sikap yang selalu tawadhu dan keilmuan yang luas membuat beliau disegani banyak orang. Terutama bagi orang-orang yang masih nyantri ataupun pernah nyantri di sana.
Karismanya begitu luar biasa. Sehebat apapun santri itu, kalau sudah diminta membaca kitab dihadapannya pasti akan keluar keringat. Suatu ketika Gus Baha atau KH Bahaudin Nursalim santri kesayangan Mbah Moen pernah bercerita,
“Saya termasuk orang yang beruntung karena pernah disuruh baca kitab dihadapan Mbah Moen,” kata Gus Baha, di Ponpes asuhannya di Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang.
Tapi kisah yang diceritakan di sela pengajian kita tafsir Al Jalalain ini, tidak bercerita tentang bagaimana Gus Baha membaca kitab di hadapan guru yang sangat beliau hormati. Gus Baha bercerita tentang seorang temannya yang sama-sama pernah mondok di sana.
Sahabat Gus Baha, Khusnan namanya, seorang kyai yang sudah terbiasa menjadi khatib dan imam Shalat Jum’at di masjid. Pada suatu Jumat, seperti biasa teman Gus Baha ini memakai pakaian terbaik termasuk jas untuk memberikan khutbah Shalat Jumat.
Saat khutbah itulah, Kiai Khusnan teman Gus Baha itu baru tahu kalau di barisan shof terdepan ada yang sosok yang sangat dia kenal yakni Mbah Moen. Betapa kaget si santri ini sehingga dia khutbah dengan perasaan gugup. Dalam perasaannya mungkin berfikir, “masa seorang santri ceramai kiainya sendiri”.
Setelah sholat Jumat santat selesai karena perasaan tidak enak setelah ceramah di depan mbah Moen hingga jatuh sakit. Mendengar temannya sakit Gus Baha kemudian datang menjenguk. Beliau kemudian menemani Khusnan untuk sowan ke Mbah Moen. Mendengar cerita ini, sikap Mbah Moen justru di luar perkiraan.
“Kalau begitu aku di belakang saja,” kurang lebih begitu kata Mbah Moen.
Semenjak saat itu, Gus Baha bercerita Mbah Moen hampir selalu datang di belakang dan tidak pernah berada di bagian shof depan ketika Shalat Jumat. Beliau tidak ingin orang atau muridnya yang menjadi khatib dan imam shalat merasa segan dengan kehadirannya.
Ternyata kyai besar lain, Mbah Sahal Mahfudz, juga melakukan hal yang sama. Pernah suatu ketika hal ini ditanyakan mengapa beliau memilih di shaf belakang. Jawaban Mbah Sahal sangat singkat.
“Nek aku neng ngarep, terus khatib e pie toh le le?”. (Kalau aku di depan terus khatibnya nanti bagaimana?), kata mbah Sahal.
Maksudnya kurang lebih sama. Bagaimana perasaan khatib itu ketika mengetahui orang yang sangat dihormati atau bahkan menjadi gurunya ada di depannya malah diceramahi? Itu sama dengan perasaan diminta baca kitab di depan gurunya.
*Dikisahkan oleh KH Bahaudin Nursalim di sela-sela kajian tafsir Jalalain.