Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Mumtahanah Ayat 10-11 ini, menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta perlindungan.
Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.
Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah Ayat 10-11
Surah Al-Mumtahanah Ayat 10
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ وَسۡـَٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡـَٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْ ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir Jalalain: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ (Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman) secara lisannya مُهَٰجِرَٰتٍ (untuk berhijrah) dari orang-orang kafir sesudah kalian mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang kafir dalam perjanjian Hudaibiah, yaitu bahwa barang siapa yang datang kepada orang-orang mukmin dari kalangan mereka, maka orang itu harus dikembalikan lagi kepada mereka,
فَٱمۡتَحِنُوهُنَّ (maka hendaklah kalian uji mereka) melalui sumpah, yaitu bahwa sesungguhnya mereka sekali-kali tidak keluar meninggalkan kampung halamannya melainkan karena senang kepada Islam, bukan karena benci terhadap suami mereka yang kafir, dan bukan pula karena mencintai orang-orang lelaki dari kalangan kaum muslimin. Demikianlah isi sumpah yang dilakukan oleh Nabi saw. kepada perempuan-perempuan itu.
ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَٰنِهِنَّ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ (Allah telah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah mengetahui, bahwa mereka) yakni kalian menduga melalui sumpah yang telah mereka ucapkan, bahwa mereka مُؤۡمِنَٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ (benar-benar beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka) janganlah kalian mengembalikan mereka إِلَى ٱلۡكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَءَاتُوهُم (kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka) yakni kembalikanlah kepada orang-orang kafir yang menjadi suami mereka مَّآ أَنفَقُواْ (mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan-perempuan mukmin itu.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ (Dan tiada dosa atas kalian mengawini mereka) dengan syarat إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ (apabila kalian bayar kepada mereka maharnya) maskawinnya. وَلَا تُمۡسِكُواْ (Dan janganlah kalian tetap berpegang) dapat dibaca tumsikuu, dan tumassikuu yakni dengan memakai tasydid dan tanpa tasydid بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ (pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir) yakni istri-istri kalian yang kafir, karena keislaman kalian telah memutuskannya dari kalian berikut syarat-syaratnya. Atau perempuan-perempuan yang menyusul atau mengikuti orang-orang musyrik dalam keadaan murtad, karena kemurtadannya telah memutuskan tali perkawinan mereka dengan kalian, berikut syarat-syaratnya.
وَسۡـَٔلُواْ (dan hendaklah kalian minta) hendaklah kalian tuntut مَآ أَنفَقۡتُمۡ (apa yang telah kalian nafkahkan) kepada mereka yaitu mahar-mahar yang telah kalian bayar kepada mereka, berupa pengembalian dari orang-orang kafir yang mengawini mereka,
وَلۡيَسۡـَٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْ (dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar) kepada perempuan-perempuan yang ikut berhijrah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu yaitu bahwasanya kaum musliminlah yang membayarkannya.
ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ (Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian) untuk kalian laksanakan. وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana).
Tafsir Ibnu Katsir: Di dalam surah al-Fath, telah disampaikan kisah perdamaian Hudaibiyyah yang berlangsung antara Rasulullah saw. dengan orang-orang kafir Quraisy, di antara isi perjanjian itu berbunyi:
“Tidak ada seorang pun dari kami yang mendatangimu meskipun ia memeluk agamamu melainkan engkau [Muhammad] harus mengembalikannya kepada kami.” Dan dalam riwayat lain disebutkan:
“Tidak seorang pun dari kami yang datang kepadamu meski sebagai pemeluk agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Demikian pendapat ‘Urwah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid, az-Zuhri, Muqatil bin Hayyan, dan as-Suddi. Berdasarkan riwayat ini, maka ayat ini mentakhshih [mengkhususkan] sunnah.
Ini merupakan contoh terbaik tentang masalah ini, dan sebagian ulama salaf memandangnya sebagai ayat nasikh [ayat yang menghapus]. Karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, jika wanita-wanita ikut berhijrah datang kepada mereka, hendaklah wanita-wanita itu diuji terlebih dahulu. Jika telah diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita yang beriman, maka mereka tidak boleh dikembalikan kepada orang-orang kafir. Karena wanita-wanita itu tidak halal bagi mereka dan juga sebaliknya.
Dan telah disebutkan dalam biografi ‘Abdullah bin Ahmad bin Jahsy dalam kitab al-Musnad al-Kabiir, melalui jalan Abu Bakar bin Abi ‘Ashim, dari ‘Abdullah bin Abi Ahmad, ia bercerita: Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ith berhijrah. Kemudian kedua orang saudaranya, ‘Amarah dan al-Walid menemui Rasulullah saw.
Kedua orang tersebut berbincang dengan Rasulullah saw. agar beliau berkenan mengembalikan saudara perempuannya itu kepada mereka. Maka Allah swt. mengecualikan para wanita, khususnya dari perjanjian yang telah dibuat antara Rasulullah saw. dan orang-orang musyrik itu sehingga Allah melarang orang-orang yang beriman mengembalikan para wanita yang berhijrah kepada orang-orang musyrik, dan Allah pun menurunkan ayat tentang pengujian mereka.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Nashr al-Asadi, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas ra. pernah ditanya: “Bagaimana pengujian yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap para wanita tersebut?” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Beliau menguji mereka dengan meminta mereka mengatakan:
‘Demi Allah, aku tidak pergi karena benci kepada suami. Demi Allah, aku tidak keluar karena membenci negeri ini dan pindah ke negeri lain. Demi Allah, aku tidak pergi untuk mencari kesenangan dunia. Demi Allah, aku tidak pergi melainkan karena kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Kemudian riwayat tersebut disampaikan dari sisi lain, dari al-Agharr bin ash-Shabah dengan lafadznya. Demikian juga diriwayatkan oleh al-Bazzar yang juga melalui jalannya.
Mengenai firman Allah: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ مُهَٰجِرَٰتٍ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّ (“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu menguji [keimanan] mereka.”) al-‘Aufi menceritahakn dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatkan:
“Bentuk pengujian beliau terhadap wanita-wanita itu adalah dengan meminta mereka mengucapkan syahadat: asyHadul allaa ilaaHa illallaaH wa anna Muhammadan ‘abdullaaHi wa rasuuluHu (“Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”) jika mereka bersedia mengucapkan hal tersebut, maka hal itu akan diterima dari mereka.”
Dan firman Allah: فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَٰتٍ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ (“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka [benar-benar] beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada [suami-suami mereka] orang-orang kafir.”) di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa keimanan itu dapat dilihat secara pasti.
Firman-Nya lebih lanjut: لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”) ayat ini mengharamkan wanita-wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Padahal pada permulaan Islam, laki-laki musyrik diperbolehkan menikah dengan wanita muslimah.
Berdasarkan hal tersebut, terlaksanalah pernikahan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ dengan putri Rasulullah saw. Zainab ra. dimana pada saat itu Zainab sebagai seorang muslimah, sedang Abul ‘Ash masih memeluk agama kaumnya. Dan ketika ia masuk dalam tawanan perang Badar, Zainab mengutus seseorang untuk menebusnya dengan kalung yang dahulu milik Ibunya, Khadijah binti Khuwailid ra. Ketika melihatnya, Rasulullah saw. merasa sangat pilu sekali dan berkata kepada kaum muslimin:
“Jika kalian memutuskan untuk membebaskan tawanannya, lakukanlah.”
Maka mereka pun melakukannya. Dan Rasulullah saw. membebaskannya dengan syarat kaum kafir Quraisy harus mengirimkan Zainab kepada beliau. Dia pun memenuhi permintaan Rasulullah saw. tersebut dan memenuhi janjinya terhadap beliau dengan mengirimkan Zainab kepada beliau bersama Zaid bin Haritsah ra. maka Zainab pun bermukimm di Madinah setelah perang Badar.
Hal ini terjadi pada tahun ke 2 Hijrah sehingga suaminya memeluk Islam pada tahun ke 8 Hijrah, lalu Rasulullah saw. mengembalikan Zainab kepada suaminya dengan pernikahan yang pertama dan tidak meminta mahar yang baru.
Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. mengembalikan puterinya, Zainab kepada Abul ‘Ash. Hijrahnya dari suaminya sebelum suaminya memeluk Islam itu berlangsung selama 6 tahun, dengan tetap memberlakukan pernikahan yang pertama dan tidak melakukan persaksian dan mahar kembali.”
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi setelah 2 tahun dan itulah yang benar, karena masuk Islamnya Abul ‘Ash itu terjadi 2 tahun setelah diharamkannya wanita muslimah dinikahi oleh laki-laki musyrik.
Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Laa ba’sa biHi [tidak ada masalah dengan sanadnya].” Dan kami tidak mengetahui sisi hadits ini. Mungkin hadits ini bersumber dari hafalan Dawud bin al-Hushain. Dan aku pernah mendengar ‘Abd bin Humaid berceritah:
“Aku pernah mendengar Yazid bin Harun menyebutkan hadits ini dari Ibnu Ishaq, juga hadits Ibnu Hajjaj, yakni Ibnu Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. pernah mengembalikan putrinya kepada Abul ‘Ash binn ar-Rabi’ dengan mahar baru dan nikah baru.”
Dari Yazid berkata: “Hadits Ibnu ‘Abbas ra. lebih baik sanadnya, dan yang lebih tepat diamalkan adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib.”
Ibnu Katsir mengatakan: “Dan hadits al-Hajjaj bin Artha-ah dari ‘Amr bin Syu’aib ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad dan juga perawi lainnya mendlaifkan hadits ini, wallaaHu a’lam.”
Kemudian jumhur ulama memberikan jawaban tentang hadits Ibnu ‘Abbas bahwa hal itu merupakan satu perkara khusus, mungkin saja Zainab belum sempat menyelesaikan ‘iddah dari suaminya itu. Sebab menurut kebanyakan ulama, jika seorang wanita telah selesai ‘iddahnya lalu tidak ada rujuk dari suaminya, maka nikahnya itu batal.
Dan menurut ulama lainnya, jika seorang wanita telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia mempunyai pilihan; jika mau ia tetap berpegang pada tali pernikahan dan meneruskannya, dan jika mau ia juga boleh membatalkannya, pergi dan menikah lagi. Dalam hal ini mereka mengemukakan hadits Ibnu ‘Abbas ra. WallaaHu a’lam.
Dan firman Allah: وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْ (“Dan berikanlah kepada [suami-suami] mereka mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya yaitu suami-suami para wanita yang berhijrah dari kalangan kaum musyrikin. Serahkanlah kepada mereka mahar-mahar yang telah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka itu. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, az-Zuhri dan lain-lain.
Firman-Nya lebih lanjut: وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ (“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”) yakni jika kalian telah memberikan mahar kepada mereka, maka nikahilah mereka dengan tetap berpegang pada persyaratan, seperti telah selesainya masa ‘iddah, adanya wali dan lain-lain.
Firman Allah: وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”) yang demikian itu merupakan pengharaman dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Yakni mereka diharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dan tetap bertahan hidup berumah tangga dengan mereka.
Dan dalam hadits shahih dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari al-Miswar dan Marwan bin al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dengan orang-orang kafir Quraisy pada peristiwa Hudaibiyyah, beliau didatangi wanita-wanita mukminah. Lalu Allah menurunkan ayat yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, -sampai kepada firman-Nya- Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”
Pada saat itu juga ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan dua orang istrinya. Salah seorang di antaranya kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan seorang lagi dinikahi oleh Shafwan bin Umayyah. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Ibnu Tsaur menceritakan dari Ma’mar, dari az-Zuhri, ia berkata: “Ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw. yang ketika itu beliau berada di tempat paling bawah dari Hudaibiyyah pada saat beliau mengadakan perjanjian dengan kaum kafir Quraisy dengan kesepakatan bahwa siapapun dari golongan mereka yang datang kepada beliau, maka beliau harus mengembalikannya kepada mereka.
Dan setelah ada beberapa orang wanita yang datang kepada beliau, maka turunlah ayat tersebut dan beliau memerintahkan agar para wanita itu mengembalikan mahar kepada suami mereka. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap orang-orang musyrik, dimana jika ada wanita muslimah yang datang kepada mereka, maka mereka harus mengembalikan mahar kepada suami mereka. Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ (“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali [perkawinan] dengan perempuan-perempuan kafir.”)” demikian pendapat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Dan Dia mengatakan: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberlakukan hal tersebut kepada mereka karena di antara kaum muslimin dan kaum musyrikin terdapat perjanjian.”
Muhammad bin Ishaq menceritakan dari az-Zuhri: “Pada hari itu, ‘Umar bin al-Khaththab menceraikan Qaribah [demikian yang tertulis pada keterangan aslinya. Sedangkan dalam tafsir al-Baghawi tertulis: Fathimah] binti Abi Umayyah bin al-Mughirah. L
alu Qaribah dinikahi kembali oleh Mu’awiyah. Juga menceraikan Ummu Kultsum binti ‘Amr bin Jarwal al-Khuza’iyyah, yaitu ummu ‘Abdillah. Lalu ia dinikahi oleh Abu Jahm bin Hudzaifah bin Ghanim, seorang dari kaumnya sendiri dan keduanya masih dalam kesyirikan. Sedangkan Thalhah bin ‘Ubaidillah menceraikan Arwa binti Rubai’ah bin al-Harits bin ‘Abdil Muthalib, kemudian dia dinikahi oleh Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash.
Dan firman Allah: وَسۡـَٔلُواْ مَآ أَنفَقۡتُمۡ وَلۡيَسۡـَٔلُواْ مَآ أَنفَقُواْ (“Dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.”) maksudnya hendaklah kalian meminta kembali mahar dari istri-istri kalian yang pergi kepada orang-orang kafir jika mereka pergi, dan hendaklah orang-orang kafir itu meminta kembali mahar dari istri-istri mereka yang berhijrah kepada kaum muslimin.
Firman Allah: ذَٰلِكُمۡ حُكۡمُ ٱللَّهِ يَحۡكُمُ بَيۡنَكُمۡ (“Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu”) yakni yang terdapat dalam perjanjian dan pengecualiannya untuk kaum wanita. Semua perkara ini adalah keputusan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi semua hamba-Nya.
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (“Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”) yakni Yang Maha mengetahui apa yang terbaik bagi kemaslahatan hamba-hamba-Nya dan Maha bijaksana dalam semua itu.
Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta perlindungan.
Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.
Allah memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui hal ihwal mereka. Allah Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri.
Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman.
Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir.
Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi’i, istri wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib dikembalikan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta oleh suaminya.
Sementara itu kaum Muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar diri mereka terpelihara.
Allah menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir.
Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam. Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan suaminya yang Muslim.
Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam menetapkan hukum-Nya, Allah Maha Mengetahui kesanggupan hamba yang akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Dalam menetapkan hukum itu, Allah juga mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum itu bagi yang memikulnya.
Tafsir Quraish Shihab: Wahai orang-orang Mukmin, apabila wanita-wanita yang beriman berhijrah mendatangi kalian, maka ujilah mereka untuk mengetahui kebenaran iman mereka. Allah lebih mengetahui hakikat keimanan mereka. Jika kalian telah yakin bahwa mereka itu benar-benar beriman, maka jangan kalian kembalikan mereka kepada suami-suami mereka yang kafir. Sebab, wanita-wanita yang beriman tidak halal bagi orang-orang kafir.
Demikian pula sebaliknya. Berikanlah kepada para suami yang kafir itu mahar yang mereka telah bayar kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada kalian. Tiada dosa bagi kalian untuk mengawini wanita-wanita tersebut selama kalian membayar mahar mereka. Janganlah kalian berpegang teguh pada tali perkawinan dengan wanita-wanita kafir yang tetap atau akan berbuat kufur.
Mintalah mahar yang telah kalian bayar untuk wanita-wanita yang menyusul berbuat kufur kepada orang-orang kafir. Dan hendaknya mereka juga meminta mahar yang telah mereka berikan kepada istri-istri mereka yang berhijrah. Ketentuan itu adalah hukum Allah yang diberlakukan untuk kalian. Allah Mahatahu segala maslahat hamba-Nya lagi Mahabijak dalam memberlakukan hukum.
Surah Al-Mumtahanah Ayat 11
وَإِن فَاتَكُمۡ شَىۡءٌ مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ فَعَاقَبۡتُمۡ فَـَٔاتُواْ ٱلَّذِينَ ذَهَبَتۡ أَزۡوَٰجُهُم مِّثۡلَ مَآ أَنفَقُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ
Terjemahan: Dan jika seseorang dari isteri-isterimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari isterinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.
Tafsir Jalalain: وَإِن فَاتَكُمۡ شَىۡءٌ مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ (Dan jika seseorang dari istri-istri kalian lari) seorang atau lebih di antara istri-istri kalian. Atau sebagian dari mahar mereka luput dari kalian, karena mereka lari إِلَى ٱلۡكُفَّارِ (kepada orang-orang kafir) dalam keadaan murtad فَعَاقَبۡتُمۡ (lalu kalian mengalahkan mereka) maksudnya, memerangi mereka kemudian kalian memperoleh ganimah,
فَـَٔاتُواْ ٱلَّذِينَ ذَهَبَتۡ أَزۡوَٰجُهُم (maka bayarkanlah kepada orang-orang yang istrinya lari itu) dari ganimah yang kalian peroleh مِّثۡلَ مَآ أَنفَقُواْ (mahar sebanyak yang telah mereka bayar) karena sebagian dari mahar tersebut tidak sempat mereka terima dari pihak orang-orang kafir.
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ (Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kalian beriman) kemudian orang-orang mukmin itu benar-benar mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepada mereka, yaitu memberikan ganti rugi mahar kepada orang-orang kafir, dan juga kepada orang-orang mukmin yang istrinya lari, kemudian hukum ini sesudah itu ditiadakan.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَإِن فَاتَكُمۡ شَىۡءٌ مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ فَعَاقَبۡتُمۡ فَـَٔاتُواْ ٱلَّذِينَ ذَهَبَتۡ أَزۡوَٰجُهُم مِّثۡلَ مَآ أَنفَقُواْ (“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarlah kepada orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar.”) Mujahid dan Qatadah berkata:
“Yang demikian itu berkenaan dengan orang-orang kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian, dimana jika ada seorang wanita yang melarikan diri kepada mereka, mereka tidak berbuat apapun terhadap suaminya. Dan jika ada seorang wanita dari mereka yang datang, maka mereka tidak akan membayar sesuatupun kepada suaminya itu sehingga dia membayar [mahar] kepada suami wanita yang pergi kepada mereka itu sebanyak mahar yang telah dibayarkan kepadanya.”
Ibnu Jarir menceritakan dari az-Zuhri, ia bercerita: “Orang-orang mukmin mengakui hukum Allah, sehingga mereka mau melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka, yakni membayarkan mahar kepada kaum musyrikin yang telah diberikan kepada kaum wanita mereka [kaum mukminin]. Sedangkan kaum musyrikin tidak mau mengakui hukum tersebut sehingga mereka enggan menjalankan apa yang diperintahkan kepada mereka berupa pembayaran mahar kepada kaum muslimin.”
Oleh karena itu Allah berfirman kepada orang-orang yang beriman: وَإِن فَاتَكُمۡ شَىۡءٌ مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ فَعَاقَبۡتُمۡ فَـَٔاتُواْ ٱلَّذِينَ ذَهَبَتۡ أَزۡوَٰجُهُم مِّثۡلَ مَآ أَنفَقُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ (“Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarlah kepada orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.”)
Jika setelah ayat ini turun masih ada istri dari kaum muslimin yang pergi kepada kaum musyrikin, maka orang-orang muslimin harus mengembalikannya kepada suaminya mahar yang telah dibayarkan kepadanya, yaitu berupa sisa mahar yang ada di tangan mereka yang mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang telah melarikan diri tersebut. Kemudian mereka mengembalikan sisanya kepada kaum musyrikin.
Al-‘Aufi menceritakan dari Ibnu ‘Abbas mengenai ayat ini: “Artinya, jika istri seorang Muhajirin bergabung dengan orang-orang kafir, Rasulullah saw. memerintahkan untuk memberikan sebagian harta rampasan perang kepada orang tersebut sejumlah mahar yang telah ia berikan.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid mengenai firman-Nya: فَعَاقَبۡتُمۡ (“Lalu kamu mengalahkan mereka.”) ia mengatakan: “Artinya, jika kalian mendapatkan ghanimah dari kaum Quraisy atau selain mereka.”
فَـَٔاتُواْ ٱلَّذِينَ ذَهَبَتۡ أَزۡوَٰجُهُم مِّثۡلَ مَآ أَنفَقُواْ (“Maka bayarlah kepada mereka orang-orang yang [kepadanya] lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar.”) yakni mahar yang semisal.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Masruq, Ibrahim, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, adh-Dhahhak, Sufyan bin Husain dan juga az-Zuhri. Dan itu jelas tidak bertentangan dengan yang pertama. sebab jika memungkinkan yang pertama itulah yang terbaik, dan jika tidak maka diambilkan dari ghanimah yang diambil dari tangan kaum kafir. [Pendapat] inilah yang lebih luas dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. alhamdulillaaH.
Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini diterangkan hukum seorang istri mukminat yang murtad dan lari dari suaminya ke daerah kafir, sedang ia belum mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya yang Mukmin itu. Jika si suami menyerang daerah kafir, kemudian dapat menawan bekas istrinya, maka bekas istrinya itu boleh diambilnya kembali dengan mengganti mahar yang telah diterima oleh istri dari suami yang kafir.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim dari al-hasan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa Ummul hakam binti Abi Sufyan yang telah murtad dan melarikan diri dari suaminya, kemudian ia menikah dengan seorang laki-laki dari Bani tsaqif.
Ayat ini memerintahkan agar mas kawin yang diterima Ummul hakam dari suaminya yang kafir itu diganti dan diambilkan dari hasil rampasan perang, dan Ummul hakam kembali kepada suaminya semula (yang Muslim).
Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, mas kawin itu diambil dan diberikan kepada suami yang kafir sebelum harta rampasan perang dibagi lima sebanyak yang pernah diberikan suami yang kafir kepada perempuan yang lari itu.
Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin bertakwa dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya, baik yang diterangkan pada ayat di atas, maupun yang disebut pada ayat-ayat yang lain serta yang terdapat di dalam hadis, jika mereka beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Tafsir Quraish Shihab: Dan jika sebagian istri kalian lari kepada orang-orang kafir, lalu kalian mengalahkan mereka dalam perang, maka berikanlah kepada orang-orang yang istrinya lari sebanyak mahar yang mereka telah bayar. Bertakwalah kalian kepada Allah yang kalian yakini.
Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Mumtahanah Ayat 10-11 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020