Surah An-Nur Ayat 32-34; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah An-Nur Ayat 32-34

Pecihitam.org – Kandungan Surah An-Nur Ayat 32-34 ini, Allah menyerukan kepada semua pihak yang memikul tanggung jawab atas kesucian dan kebersihan akhlak umat, agar mereka menikahkan laki-laki yang tidak beristri, baik duda atau jejaka dan perempuan yang tidak bersuami baik janda atau gadis. Demikian pula terhadap hamba sahaya laki-laki atau perempuan yang sudah patut dinikahkan, hendaklah diberikan pula kesempatan yang serupa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nur Ayat 32-34

Surah An-Nur Ayat 32
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Terjemahan: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Tafsir Jalalain: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ (Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian) lafal Ayaama adalah bentuk jamak dari lafal Ayyimun artinya wanita yang tidak mempunyai suami, baik perawan atau janda, dan laki-laki yang tidak mempunyai istri; hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang merdeka وَالصَّالِحِينَ (dan orang-orang yang layak kawin) yakni yang Mukmin مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ (dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan) lafal ‘ibaadun adalah bentuk jamak dari lafal ‘Abdun.

إِن يَكُونُوا (Jika mereka) yakni orang-orang yang merdeka itu فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ (miskin Allah akan memampukan mereka) berkat adanya perkawinan itu مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ (dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas) pemberian-Nya kepada makhluk-Nya عَلِيمٌ (lagi Maha Mengetahui) mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ (“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu”) ini merupakan perintah untuk menikah. Sebagian ulama berpendapat, nikah wajib hukumnya atas setiap orang yang mampu. Mereka berdalil dengan dhahir hadits:

“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang memiliki kemampuan, hendaklah ia segera menikah. Karena menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena ibadah shaum merupakan salah satu peredam nafsu syahwat baginya.”

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud ra. Dalam kitab sunan disebutkan dari beberapa jalur bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Nikahilah wanita yang subur, berusahalah mendapatkan keturunan. Sebab aku berbangga dengan jumlahmu yang banyak.” Dalam riwayat lain ditambahkan: “Hingga [aku juga berbangga] dengan jumlah janin [Muslim] yang gugur.”

Kata “al-ayaamu” adalah bentuk jamak dari kata “ayyamun” artinya wanita yang tidak mempunyai suami lelaki yang tidak mempunyai istri, sama halnya ia sudah menikah kemudian bercerai atau memang belum menikah sama sekali. Demikian disebutkan oleh al-Jauhari dari para pakar bahasa. Dalam bahasa Arab disebut lelaki ayyim dan wanita ayyim.

Firman Allah: إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ (“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”) dan ayat seterusnya. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Allah mendorong mereka untuk menikah dan memerintahkan orang-orang merdeka maupun budak untuk melaksanakannya serta menjanjikan kekayaan bagi mereka. Allah berfirman: إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ (“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”.

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini Allah menyerukan kepada semua pihak yang memikul tanggung jawab atas kesucian dan kebersihan akhlak umat, agar mereka menikahkan laki-laki yang tidak beristri, baik duda atau jejaka dan perempuan yang tidak bersuami baik janda atau gadis. Demikian pula terhadap hamba sahaya laki-laki atau perempuan yang sudah patut dinikahkan, hendaklah diberikan pula kesempatan yang serupa.

Seruan ini berlaku untuk semua para wali (wali nikah) seperti bapak, paman dan saudara yang memikul tanggung jawab atas keselamatan keluarganya, berlaku pula untuk orang-orang yang memiliki hamba sahaya, janganlah mereka menghalangi anggota keluarga atau budak yang di bawah kekuasaan mereka untuk nikah, asal saja syarat-syarat untuk nikah itu sudah dipenuhi.

Dengan demikian terbentuklah keluarga yang sehat bersih dan terhormat. Dari keluarga inilah akan terbentuk suatu umat dan pastilah umat atau bangsa itu menjadi kuat dan terhormat pula. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: Nikah itu termasuk Sunnahku. Barangsiapa yang membenci Sunnahku maka dia tidak termasuk golonganku.(Riwayat Muslim)

Bila di antara orang-orang yang mau nikah itu ada yang dalam keadaan miskin sehingga belum sanggup memenuhi semua keperluan pernikahannya dan belum sanggup memenuhi segala kebutuhan rumh tangganya, hendaklah orang-orang seperti itu didorong dan dibantu untuk melaksanakan niat baiknya itu.

Janganlah kemiskinan seseorang menjadi alasan untuk mengurungkan pernikahan, asal saja benar-benar dapat diharapkan daripadanya kemauan yang kuat untuk melangsungkan pernikahan. Siapa tahu di belakang hari Allah akan membukakan baginya pintu rezeki yang halal, baik, dan memberikan kepadanya karunia dan rahmat-Nya.

Sesungguhnya Allah Mahaluas rahmat-Nya dan kasih sayang-Nya, Mahaluas Ilmu pengetahuan-Nya. Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki sesuai dengan hikmat kebijaksanaan-Nya.

Ibnu Abbas berkata, Allah menganjurkan pernikahan dan menggalakkannya, serta menyuruh manusia supaya mengawinkan orang-orang yang merdeka dan hamba sahaya, dan Allah menjanjikan akan memberikan kecukupan kepada orang-orang yang telah berkeluarga itu kekayaan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah berkewajiban menolongnya: orang yang nikah dengan maksud memelihara kesucian dirinya, hamba sahaya yang berusaha memerdekakan dirinya dengan membayar tebusan kepada tuannya, dan orang yang berperang di jalan Allah.(Riwayat Ahmad).

Tafsir Quraish Shihab: Bantulah laki-laki dan wanita-wanita di antara kalian yang belum kawin untuk menjauhi perbuatan zina dan segala yang mengarah kepadanya dengan cara mengawinkan mereka.
Begitu pula bantulah budak- budak kalian yang saleh untuk kawin. Jangan sampai perbudakan menghalangi perkawinan.

Sesungguhnya Allah akan menyediakan segala fasilitas hidup terhormat bagi orang yang menghendaki kesucian dirinya. Karunia Allah amatlah luas seberapa pun keperluan manusia. Dia Maha Mengetahui segala niat dan segala yang terjadi di alam raya ini.

Surah An-Nur Ayat 33
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Baca Juga:  Surah Al-Isra Ayat 54-55; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Terjemahan: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.

Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Tafsir Jalalain: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا (Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya) maksudnya mereka yang tidak mempunyai mahar dan nafkah untuk kawin, hendaklah mereka memelihara kesuciannya dari perbuatan zina حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ (sehingga Allah memampukan mereka) memberikan kemudahan kepada mereka مِن فَضْلِهِ (dengan karunia-Nya) hingga mereka mampu kawin.

وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ (Dan orang-orang yang menginginkan perjanjian) lafal Al Kitaaba bermakna Al Mukaatabah, yaitu perjanjian untuk memerdekakan diri مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (di antara budak-budak yang kalian miliki) baik hamba sahaya laki-laki maupun perempuan فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا (maka hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka) artinya dapat dipercaya dan memiliki kemampuan untuk berusaha yang hasilnya kelak dapat membayar perjanjian kemerdekaan dirinya.

Shighat atau teks perjanjian ini, misalnya seorang pemilik budak berkata kepada budaknya, “Aku memukatabahkan kamu dengan imbalan dua ribu dirham, selama jangka waktu dua bulan. Jika kamu mampu membayarnya, berarti kamu menjadi orang yang merdeka.” Kemudian budak yang bersangkutan menjawab, “Saya menyanggupi dan mau menerimanya”,

وَآتُوهُم (dan berikanlah kepada mereka) perintah di sini ditujukan kepada para pemilik budak مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ (sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian) berupa apa-apa yang dapat membantu mereka untuk menunaikan apa yang mereka harus bayarkan kepada kalian. Di dalam lafal Al-Iitaa terkandung pengertian meringankan sebagian dari apa yang harus mereka bayarkan kepada kalian, yaitu dengan menganggapnya lunas.

وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ (Dan janganlah kalian paksakan budak-budak wanita kalian) yaitu sahaya wanita milik kalian عَلَى الْبِغَاءِ (untuk melakukan pelacuran) berbuat zina إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا (sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian) memelihara kehormatannya dari perbuatan zina. Adanya keinginan untuk memelihara kehormatan inilah yang menyebabkan dilarang memaksa, sedangkan syarath di sini tidak berfungsi sebagaimana mestinya lagi لِّتَبْتَغُوا (karena kalian hendak mencari) melalui paksaan itu عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا (keuntungan duniawi) ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, karena dia memaksakan hamba-hamba sahaya perempuannya untuk berpraktek sebagai pelacur demi mencari keuntungan bagi dirinya.

وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ (Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah kepada mereka yang telah dipaksa itu adalah Maha Pengampun) رَّحِيمٌ (lagi Maha Penyayang).

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ (“Dan orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian [diri]nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”) ini merupakan perintah Allah kepada siapa saja yang mampu menikah untuk menjaga kesucian dirinya dari perkara-perkara haram.

Firman Allah: وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا (“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.”) ini merupakan perintah dari Allah kepada para tuan apabila budak-budak mereka meminta mukaatabah (menebus dirinya dengan cicilan) agar memenuhinya dengan syarat si budak memiliki jalan dan usaha untuk menebus dirinya dari tuannya.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa perintah di sini maksudnya adalah bimbingan dan anjuran, bukan keharusan dan kewajiban. Si tuan memiliki hak pilih apabila budaknya meminta mukaatabah, ia boleh memenuhinya dan ia boleh juga menolaknya. Sebagian ulama berpendapat, wajib hukumnya atas si tuan apabila budaknya meminta mukaatabah untuk memenuhinya berdasarkan dhahir perintah tersebut.

Firman Allah: فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا (“Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”) sebagian ulama mengatakan, maksudnya yaitu sifat amanah.

Abu Dawud meriwayatkan dalam Maraasil-nya, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda tentang firman Allah: فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا (“Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”) yakni jika kalian tahu ia memiliki usaha dan janganlah engkau lepaskan begitu saja budakmu hingga ia bergantung kepada orang lain.”

Firman Allah: وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ (“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.”) yaitu sebagian dari apa yang Allah wajibkan atasmu dari harta zakat. ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. berkata, “Allah memerintahkan kaum Mukminin agar membantu budak yang ingin memerdekakan dirinya.”

Firman Allah: وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ (“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.”) dahulu kaum jahiliyyah apabila mereka memiliki budak-budak wanita, mereka mengirimkannya untuk berzina dan mengharuskan budak-budak itu menyerahkan sertoran yang mereka ambil setiap waktu.

Ketika Islam datang, Allah melarang kaum Mukminin dari hal itu. Sebab turunnya ayat yang mulia ini seperti yang disebutkan oleh sejumlah ahli tafsir dari kalangan salaf dan khalaf berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, ia memiliki budak wanita yang ia paksa untuk melacur karena mengharapkan setoran darinya, karena menginginkan anak-anak mereka dan karena kekuasaannya, demikian anggapannya.

Firman Allah: وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ (“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.”) yaitu zina. Firman Allah: إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا (“Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.”) ini dilihat dari kebiasaan yang umum terjadi, tidak bisa diambil makna implisit dari firman Allah tersebut.

Firman Allah: لِّتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا (“Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”) yakni mengharapkan setoran mereka, bayaran mereka dan anak-anak mereka. rasulullah saw. telah melarang mengambil uang hasil upah membekam, bayaran pelacur dan bayaran dukun.” (Rasulullah saw. melarang mengambil uang hasil penjualan anjing, bayaran pelacuran dan upah dukun).

Baca Juga:  Surah Yasin Ayat 8-12; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Dalam riwayat lain disebutkan: “Uang hasil melacur itu haram, uang hasil membekam itu haram dan uang hasil penjualan anjing juga haram.”

Firman Allah: وَمَن يُكْرِههُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِن بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (“Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang [kepada mereka] sesudah mereka dipaksa [itu]].”) yakni memberi ampun kepada mereka. Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas ra:

“Jika kalian melakukannya [pelacuran karena dipaksa oleh tuannya], maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang kepada mereka dan dosa mereka ditimpakan kepada orang-orang yang memaksa mereka.” demikian yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’ al-Khurasani, al-A’Masy dan Qatadah.

Dalam sebuah hadits marfu’, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Alllah telah mengangkat [memaafkan] dari umatku kekeliruan, lupa dan perbuatan yang dilakukan karena terpaksa.”

Tafsir Kemenag: Bagi orang-orang yang benar-benar tidak mampu untuk membiayai keperluan pernikahan dan kebutuhan hidup berkeluarga sedangkan wali dan keluarga mereka tidak pula sanggup membantunya, maka hendaklah ia menahan diri sampai mempunyai kemampuan untuk itu. Menahan diri artinya menjauhi segala tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan apalagi melakukan perzinaan karena perbuatan itu adalah sangat keji dan termasuk dosa besar.

Di antara tujuan anjuran untuk mengawinkan pria dan perempuan yang tidak beristri atau bersuami adalah untuk memelihara moral umat dan bersihnya masyarakat dari tindakan-tidakan asusila. Bila pria atau perempuan belum dapat nikah tidak menjaga dirinya dan memelihara kebersihan masyarakatnya, tentulah tujuan tersebut tidak akan tercapai. Sebagai suatu cara untuk memelihara diri agar jangan jatuh ke jurang maksiat, Nabi Besar memberikan petunjuk dengan sabdanya:

Hai para pemuda! Siapa di antara kamu sanggup nikah, hendaklah ia nikah karena pernikahan itu lebih menjamin terpeliharanya mata dan terpeliharanya kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, maka hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu mengurangi naluri seksnya. (Riwayat shahihain dari Ibnu Mas’ud)

Di masa dahulu kesempatan melakukan tindakan asusila amat sempit sekali karena masyarakat sangat ketat menjaga kemungkinan terjadinya dan bila diketahui hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya amat berat sekali. Oleh sebab itu, perbuatan asusila itu jarang terjadi.

Berlainan dengan masa sekarang di mana masyarakat terutama di kota-kota besar tidak begitu mengindahkan masalah ini bahkan di daerah-daerah tertentu dilokalisir sehingga banyak pemuda-pemuda kita yang kurang kuat imannya jatuh terperosok ke dunia hitam itu.

Oleh sebab itu dianjurkan kepada pemuda-pemuda bahkan kepada semua pria yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami yang patuh dan taat kepada ajaran agamanya, agar benar-benar menjaga kebersihan diri dan moralnya dari perbuatan terkutuk itu, terutama dengan berpuasa sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah dan dengan menyibukkan diri pada pekerjaan dan berbagai macam urusan yang banyak faedahnya atau melakukan berbagai macam hobby yang disenangi seperti olahraga, musik dan sebagainya.

Kemudian Allah menyuruh kepada para pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya dengan harta, bila ternyata budak itu bermaksud baik dan mempunyai sifat jujur dan amanah. Biasanya pembayaran itu dilakukan berangsur-angsur sehingga apabila jumlah pembayaran yang ditentukan sudah lunas maka budak tersebut menjadi merdeka.

Ini adalah suatu cara yang disyariatkan Islam untuk melenyapkan perbudakan, sebab pada dasarnya Islam tidak mengakui perbudakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan bertentangan pula dengan harga diri seseorang yang dalam Islam sangat dihormati, karena semua Bani Adam telah dimuliakan oleh Allah, sebagai tersebut dalam firman-Nya.

Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (al-Isra`/17: 70)

Tetapi karena pada masa Rasulullah itu semua bangsa mempraktikkan perbudakan, maka diakuinya perbudakan itu oleh Nabi Muhammad sebagai hukum darurat dan sementara. Karena musuh-musuh kaum Muslimin bila mereka mengalahkan kaum Muslimin dalam suatu peperangan mereka menganggap tawanan-tawanan yang terdiri dari kaum Muslimin itu dianggap sebagai budak pula.

Karena perbudakan itu bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka dimulailah memberantasnya, di antaranya seperti yang tersebut dalam ayat ini. Banyak lagi cara untuk memerdekakan budak itu, seperti kaffarat bersetubuh di bulan puasa atau di waktu ihram, kaffarat membunuh, kaffarat melanggar sumpah dan sebagainya.

Di samping seruan kepada pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka untuk memerdekakan dirinya, diserukan pula kepada kaum Muslimin supaya membantu para budak itu dengan harta benda baik berupa zakat atau sedekah agar budak itu dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat memerdekakan dirinya.

Sebenarnya adanya perbudakan dan banyaknya budak itu dalam suatu masyarakat membawa kepada merosotnya moral masyarakat itu sendiri, dan membawa kepada terjadinya pelacuran, karena budak merasa dirinya jauh lebih rendah dari orang yang merdeka.

Dengan demikian mereka tidak menganggap mempertahankan moral yang tinggi sebagai kewajiban mereka dan dengan mudah mereka menjadi permainan orang-orang merdeka dan menjadi sarana bagi pemuasan hawa nafsu.

Selanjutnya sebagai satu cara untuk memberantas kemaksiatan dan memelihara masyarakat agar tetap bersih dari segala macam perbuatan yang bertentangan dengan moral dan susila, Allah melarang para pemilik hamba sahaya perempuan memaksa mereka melakukan perbuatan pelacuran, sedang budak-budak itu sendiri tidak ingin melakukannya dan ingin supaya tetap bersih dan terpelihara dari perbuatan kotor itu.

Banyak di antara pemilik budak perempuan yang karena tamak akan harta benda dan kekayaan mereka tidak segan-segan dan merasa tidak malu sedikit pun melacurkan budak-budak itu kepada siapa saja yang mau membayar.

Bila terjadi pemaksaan seperti ini sesudah turunnya ayat ini maka berdosa besarlah para pemilik budak itu. Sedang para budak yang dilacurkan itu tidak bersalah karena mereka harus melaksanakan perintah para pemilik mereka.

Mudah-mudahan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun mengampuni mereka, karena mereka melakukan perbuatan maksiat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi karena dipaksa oleh pemilik mereka.

Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir ra bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul mempunyai dua amat (hamba sahaya perempuan), yaitu Musaikah dan Umaimah. Lalu dia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini:

Baca Juga:  Surah An-Nur Ayat 36-38; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Demikian peraturan yang diturunkan Allah untuk keharmonisan dan kebersihan suatu masyarakat, bila dijalankan dengan sebaik-baiknya akan terciptalah masyarakat yang bersih, aman dan bahagia jauh dari hal-hal yang membahayakannya.

Tafsir Quraish Shihab: Orang-orang yang tidak memiliki kesanggupan untuk menanggung beban perkawinan hendaklah menempuh cara lain utnuk menjaga kesucian diri mereka, seperti puasa, olah raga dan olah pikir[1]. Cara itu hendaknya ditempuh sampai mereka diberi karunia oleh Allah sehingga mampu kawin.

Budak-budak yang meminta kalian untuk melakukan kesepakatan membayar uang pengganti sebagai imbalan hidup merdeka, hendaklah kalian penuhi permintaan mereka jika kalian tahu bahwa mereka benar-benar akan menepatinya dan dapat melaksanakannya.

Hendaknya kalian bantu mereka dalam menepati transaksi tersebut seperti, misalnya, dengan memberi korting dari kesepakatan semula atau dengan memberikan mereka sebagian harta yang diberikan Allah kepada kalian berupa zakat atau sedekah.

Haram hukumnya bagi kalian untuk menjadikan para budak wanita sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan duniawi dengan mengomersialkan pelacuran dan memaksa mereka melacur. Bagaimana kalian memaksa mereka untuk itu, padahal mereka menginginkan kesucian? Barangsiapa yang memaksa mereka melakukan itu, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni orang yang memaksa mereka melalui pertobatan. Sebab Allah Mahaluas ampunan dan rahmat-Nya.

[1] Ayat ini ditafsirkan oleh sebuah sabda Rasulullah ﷺ. yang artinya berbunyi: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah sanggup menanggung beban perkawinan, maka hendaknya ia segera kawin.
Sebab, perkawinan lebih dapat menjaga pandangan mata dan kemaluan. Kalau ada yang belum sanggup, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab puasa itu merupakan perisai.”

Surah An-Nur Ayat 34
وَلَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُّبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِّنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ

Terjemahan: Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Tafsir Jalalain: وَلَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُّبَيِّنَاتٍ (Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan) dapat dibaca Mubayyanatin dan Mubayyinatin. Artinya, telah dijelaskan di dalamnya hal-hal yang telah disebutkan tadi وَمَثَلًا (dan contoh-contoh) yakni berita yang aneh, yaitu berita tentang Siti Aisyah مِّنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُمْ (dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian) maksudnya sama jenisnya dengan berita-berita mereka dalam hal keanehannya, seperti kisah mengenai Nabi Yusuf dan Siti Maryam,

وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ (dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa) yaitu dalam firman-Nya, “Dan janganlah belas kasihan kalian kepada keduanya mencegah kalian untuk menjalankan agama (hukum) Allah.” (Q.S. An-Nur, 2) dan firman-Nya, “Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang Mukmin dan Mukminat tidak berprasangka baik”. (Q.S. An-Nur, 12). Dan firman-Nya,

“Dan mengapa kalian tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu…” (Q.S. An-Nur, 16). Dan firman-Nya, “Allah memperingatkan kalian agar jangan kembali memperbuat yang seperti itu…” (Q.S. An-Nur, 17). Dalam ayat ini orang-orang yang bertakwa disebutkan secara khusus mengingat hanya merekalah yang dapat mengambil manfaat dari pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَلَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُّبَيِّنَاتٍ (“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang memberikan penerangan,” ) yakni, al-Qur’an berisi ayat-ayat yang jelas dan memberi penerangan.

Firman Allah: وَمَثَلًا مِّنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُمْ (“Dan contoh-contoh dari orang-orang terdahulu sebelumnya.”) yakni kabar-kabar dari umat terdahulu dan adzab yang menimpa mereka karena menyelisihi perintah-perintah Allah, seperti yang disebutkan dalam ayat lain:

Fa ja’alnaaHum salafaw wa matsalal lil aakhiriin (“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”) (az-Zukhruf: 56). Sebagai peringatan agar kalian tidak melakukan perbuatan dosa dan perbuatan haram.

Firman Allah: وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ (“Dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”) yakni bagi orang-orang yang bertakwa dan takut kepada Allah. Dalam menyebutkan sifat-sifat al-Qur’an, ‘Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Di dalamnya terdapat hukum di antara kalian, kabar umat-umat sebelum kalian dan memisahkan antara haq dan bathil dan sekali-sekali bukanlah senda gurau. Barangsiapa yang meninggalkannya karena takabbur, maka Allah akan menghancurkannya, barangsiapa mencari petunjuk pada selainnya, maka Allah akan menyesatkannya.”

Tafsir Kemenag: Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya yang jelas baik yang menyangkut hukum yang sangat berguna bagi kebahagiaan masyarakat manusia. Begitu pula Allah telah menurunkan kisah-kisah yang dapat menjadi contoh dan teladan yaitu kisah rasul-rasul dan umat-umat yang terdahulu seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Maryam dan sebagainya, selanjutnya tergantung kepada manusia itu sendiri apakah ia akan mengambil manfaat dari syariat dan kisah-kisah itu ataukah dia akan tetap berpaling tidak mengindahkan ajaran dan contoh teladan itu. Tetapi ajaran dan kisah-kisah itu tentu sangat berguna dan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Ali bin Abi thalib berkata tentang Al-Qur’an, “Di dalamnya terdapat hukum-hukum (yang dapat dijadikan pedoman) kisah-kisah umat dahulu, dan berita tentang yang akan terjadi kemudian. Dialah yang membedakan (antara yang hak dan yang batil) bukan kata-kata yang tidak berguna (sekadar untuk main-main saja).

Siapa saja mengabaikannya meski bagaimana pun kuatnya akan dipatahkan oleh Allah. Siapa saja yang mencari petunjuk (dengan berpedoman) kepada selain Al-Qur’an, Allah akan menyesatkannya.”.

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian, dalam surat ini dan surat lainnya, ayat-ayat yang jelas dan menerangkan hukum-hukum. Kami menurunkan juga kepada kalian contoh-contoh dari ihwal umat-umat terdahulu, petunjuk dan nasihat yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang takut kepada Allah.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah An-Nur Ayat 32-34 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S