Menyoal Keabsahan Riwayat Perilaku Kawin-Cerai Sayyidina Hasan bin Ali

KEABSAHAN RIWAYAT PERILAKU MINKĀH DAN MITHLĀQ SAYYIDINA HASAN BIN ALI

Pecihitam.org – Sayyidina Hasan bin Ali merupakan cucu nabi Muhammad saw. yang sejak kecil disebut-sebut memiliki rupa yang tampan dan mirip dengan nabi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kemiripan ini pernah diakui oleh ayahnya sendiri yang mengatakan bahwa Hasan memiliki kemiripan fisik dengan nabi dari dada hingga kepala, sedangkan adiknya, Sayyidina Husein, menyerupai nabi dari bagian dada hingga kaki.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika, beberapa waktu setelah nabi wafat, Abu Bakar as-Shiddiq melihat Hasan kecil sedang bermain bersama teman-temannya, kemudian Abu Bakar mengambil dan menggendong di atas tengkuknya sambil berkata “engkau serupa dengan nabi, tidak sama dengan Ali”. Sahabat Ali yang mendengarnya pun tertawa. (HR. Ahmad).

Hasan adalah putra pertama dari Sayyidina Ali ra dan Sayyidah Fatima ra. Ia lahir pada tanggal 15 Muharram tahun 3 hijriyah dan wafat pada tahun 50 hijriyah.

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Hasyimi al-Qurasyi.

Hasan merupakan khalifah rasyîdah yang kelima setelah Sayyidina Ali ra. Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidāyah wa an-Nihāh (11/134) menyatakan bahwa kekhalifahan Hasan bin Ali selama enam bulan menjadi pelengkap dari sistem kekhalifahan pasca wafatnya nabi yang totalnya berlangsung selama 30 tahun. Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw.:

الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك (حديث حسن رواه الترميذي)

Sistem kekhalifahan pada umatku berlangsung selama tiga puluh tahun, dan setelah itu berlaku sistem kerajaan atau dinasti (HR.Tirmidzi)

Jika dilihat dari masa masing-masing khulafaur rasyidîn berkuasa, maka akan diperoleh data bahwa Abu Bakar memerintah selama 2 tahun 3 bulan, Umar bin Khattab menjabat khalifah selama 10 tahun 6 bulan, Utsman bin Affan menjadi khalifah selama 12 tahun, dan Ali bin Abi Thalib 4 tahun 9 bulan.

Total masa kekhalifahan dari empat khalifah tersebut adalah 29 tahun 6 bulan, dan genap menjadi 30 tahun ditambah dengan kekhalifahan Hasan bin Ali selama 6 bulan.   

Ibnu Hajar al-Haitami dalam as-Showā`iq al-Muhriqah (2/392) menegaskan bahwa Hasan menjadi khalifah kelima setelah dibai`at oleh penduduk Kufah.

Ia memerintah dengan adil dan haq selama kurun waktu 6 bulan. Setelah itu, ia menyerahkan kekhalifahan ke tangan Mu`awiyah bin Abu Sufyan pada bulan Rabi`ul Awwal tahun 41 hijriyah.

Tuduhan sebagai Pelaku Kawin-Cerai

Sejak Hasan masih muda, terlebih pasca dibai`atnya Hasan sebagai khalifah oleh penduduk Irak, dan terjadinya pergolakan politik di kalangan umat Islam, khususnya antara kubu pendukung setia Sayyidina Ali dan Mu`awiyah, banyak sekali tuduhan-tuduhan yang dialamtkan kepada Hasan bin Ali.

Tuduhan itu di antaranya adalah bahwa Hasan merupakan sosok yang memiliki keperibadian suka bergaya hidup mewah, boros serta laki-laki yang suka kawin-cerai (minkāh dan mithlāq). 

Baca Juga:  Jatuh Cinta adalah Anugerah Tuhan, Agama Tidak Melarangnya

Philip K.Hitti dalam History of the Arab (2006: 236) menuliskan selama Hasan menjabat sebagai khalifah ia lebih suka menghabiskan waktunya di rumah bersama harem-harem nya dan enggan melibatkan diri dalam pemerintahan.

Bahkan menurutnya, motif Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyyah atas iming-iming janji pemberian subsidi dan dana pensiun seumur hidup sebesar lima juta dirham dari perbendaharaan Kuffah. Sebuah tuduhan yang tidak dapat dibenarkan secara keseluruhan.

Banyak penulis sejarah yang menengarai awal mula munculnya tuduhan ini berasal dari kalangan Bani Umayah dan para pengikutnya yang memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan dari tangan keluarga Ali.

Pembunuhan karakter terhadap kepribadian Hasan bin Ali dimaksudkan untuk mendelegitimasi kepemimpinan Hasan sebagai sosok yang tidak layak memegang tampuk kekhalifahan serta menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah yang dianggap lebih mampu dan kompeten. 

Riwayat terkait perilaku kawin-cerai ini tidak hanya termuat dalam buku-buku yang ditulis oleh kalangan orientalis, banyak juga kitab-kitab tarikh karya sejarawan Islam yang mengisahkan tentang kebiasaan Hasan bin Ali sebagai pemuda yang gemar menikahi para wanita dan tak lama menceraikannya.

Bahkan konon ia pernah menikahi empat wanita dalam satu hari, dan menceraikan empat isterinya kala itu juga.  

Muhammad al-Mahdi dalam an-Nawāzil as-Sughro (2/22) mengisahkan bahwa suatu ketika Hasan bin Ali bertandang ke rumah Abdurrahman bin Harits, seorang ulama terkemuka (faqîh) di Kota Madinah.

Selanjutnya ia mengemukakan maksudnya untuk meminang putri sang faqîh untuk dijadikan isterinya. Mendengar hal itu, sang ulama pun diam sejenak sambil mengangkat kepalanya dan berkata;

“demi Allah belum aku temui di muka bumi ini orang yang kuanggap lebih mulia dari dirimu, akan tetapi anakku adalah darah dagingku, sementara engkau suka kawin-cerai, dan aku khawatir kelak engkau akan menceraikan anakku, dan karenanya kecintaanku kepadamu akan berubah, sementara engkau adalah darah daging baginda nabi, jika engkau berjanji tidak akan menceraikannya, maka aku akan menikahkan anakku dengan dirimu”.

As-Suyûthi dalam Tārikh al-Khulafā (1/77) mengisahkan bahwa Sayyidina Ali ra. merasa risih dengan tabi`at putranya, Hasan bin Ali, yang suka kawin-cerai.

Pernah suatu ketika ia berkata kepada penduduk Kuffah dari atas mimbar; “Wahai penduduk Kufah jangan kau kawnkan anak-anakmu dengan Hasan, sebab dia laki-laki Mithlāq”.

Tiba-tida ada seorang laki-laki dari kalangan Bani Hamdan menjawab; “demi Allah, kami akan tetap menikahkan Hasan, isteri yang ia suka dapat terus dijaga, dan yang tidak disukai dapat dilepas”.

Baca Juga:  Jangan Ikuti Dakwah Ulama yang Provokatif

Riwayat ini dinisbatkan melalui jalur Jakfar as-Shādiq bin Muhammad bin Ali bin Husein putra Ali. Diyakini bahwa Jakfar as-Shādiq tidak pernah bertemu dengan kakek buyutnya secara langsung, sehingga riwayat ini masih patut dipertanyakan.

Secara ringkas, riwayat terkait jumlah wanita yang pernah dinikahi oleh Hasan bin Ali ini terbagi menjadi tiga kelompok;

  • Pendapat pertama, jumlahnya mencapai tujuh puluh orang. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Madāiniy, ad-Dzahabiy dan Ibnu Katsîr.
  • Pendapat kedua, jumlahnya mencapai sembilan puluh wanita. Pendapat kedua ini disokong oleh as-Syablanji dan as-Suyûthi. 
  • Pendapat ketiga, jumlahnya cukup fantastis, mencapai dua ratus lima puluh, bahkan tiga ratus wanita. Pandangan yang ketiga ini hanya dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki dalam kitab Qût al-Qulûb (2/219).

Sumber periwayatan ini semua mengerucut pada tiga perawi, yaitu al-Madāini, as-Syablanji dan Abu Thalib al-Makki.

Para ahli sejarah, baik kalangan sunni atau syi`i, maupun kalangan orientalis, hampir semua menyandarkan sumber periwayatan terkait pernikahan Hasan bin Ali, ke tiga tokoh ini. 

Riwayat-riwayat terkait banyaknya jumlah wanita yang dinikahi Hasan bin Ali serta kegemarannya melakukan praktik kawin cerai telah tersebar luas di kalangan kaum muslimin.

Jarang sekali dilakukan uji validitas sumber untuk melihat keabsahan sejarah cucu nabi yang mulia ini. Banyak kalangan yang bersikap taken for granted  terhadap riwayat yang ada tanpa pernah mengupayakan kritik sejarah.

Bahkan parahnya lagi, tidak sedikit orang-orang yang menjadikan kisah ini sebagai legitimasi atas pemenuhan hasrat pribadinya yang suka melakukan praktik menikahi banyak wanita dan kemudian menceraikannya. 

Kritik Sejarah atas Riwayat-Riwayat Pernikahan Hasan bin Ali

Dalam melakukan kritik sejarah ini, idealnya dilakukan dengan dua pola, yaitu kritik isi dan kritik sumber. Dalam melakukan kritik sejarah ini, penulis akan menggunakan data-data periwayatan yang dikumpulkan oleh Ali Muhammad as-Shullābi dalam buku al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib; Syahsiyyatuhu wa `Ashruhu.

Riwayat pertama yang mencatat total wanita yang pernah dinikahi oleh Hasan bin Ali sebanyak 70 wanita. Sumber periwayatan ini berasal dari Ibnu Abi al-Hadîd dan beberapa lainnya yang sumbernya berasal dari Ali bin Abdullah al-Bashri atau yang lebih dikenal dengan nama al-Madāini (w.225 H).

Menurut as-Shullābi riwayat-riwayat dari al- al-Madāini tidak dapat diterima dan dijadikan hujjah. Imam Muslim bahkan menghindari periwayatan hadis dari al-Madāini.

Ibnu Adi dalam al-Kāmil bahkan mendhoifkannya dan menyatakan bahwa dia termasuk perawi yang tidak kuat dalam periwayatan hadis.

Adapun riwayat kedua, yang menyatakan Hasan bin Ali pernah menikahi wanita sebanyak 90 kali merupakan periwayatan yang mursal  dan terkategori dhoif (lemah).

Baca Juga:  Bisakah MTA Disebut Ormas Islam yang Inkarus Sunnah?

Sumber periwayatan ini berasal dari as-Syablanji yang memiliki nama lengkap Mukmin bin Hasan bin Mukmin as-Syablanji as-Syafi`i (w.1291 H). Beliau menulis riwayat ini dalam kitab Nûr al-Abshār fî Manāqibi Āli Baiti an-Nabiy al-Athār tanpa menuliskan jalur sanadnya sama sekali.

Menurut penilaian beberapa pihak, as-Syablanji juga tidak melakukan pemilahan terhadap riwayat-riwayat yang shahih dalam periwayatan dan khabar yang ia tuliskan, sehingga riwayat yang ia tulis terkait kisah ini berstatus mursal. Khabar mursal tidak dapat dijadikan hujjah selama tidak ada pendukung lainnya (mutābi` dan musyāhid). 

Sedangkan riwayat yang ketiga, yang menyatakan jumlah wanita yang dinikahi mencapai dua ratus lima puluh, bahkan tiga ratus wanita, merupakan pendapat yang hanya diriwayatkan oleh al-Makki dalam kitab Qût al-Qulûb.

As-Shullābi dengan merujuk pendapatnya Ibnu Hajar al-`Asqalāni dalam Lisān al-Mîzān  (4/252) berpandangan banyak riwayat munkar dalam kitab tersebut, dan bahkan menurut Ibnu Katsîr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah (11/341) kitab tersebut banyak memuat hadis-hadis yang tidak memiliki dasar sanad dan tidak ditemukan dalam kitab induk hadis (lā ashla lahu).

Selain kelemahan dari aspek sanad, bukti lain akan kelemahan riwayat tentang perilaku kawin-cerai yang dilakukan Hasan bin Ali adalah ketidakmampuan ahli sejarah untuk menampilkan nama-nama wanita yang pernah dinikahi sebanyak jumlah yang dituduhkan.

Dari sekian banyak yang dituduhkan, setidaknya hanya 15 wanita saja yang dianggap pernah menjadi isteri-isteri Hasan bin Ali. Di antaranya adalah

  • Khaulah al-Fizariyyah,
  • Aisyah,
  • Ja`dah binti Asy`ab,
  • Ummu Ishaq binti Talhah,
  • Ummu Basyir binti Abi Mas`ud al-Anshary,
  • Hafshah binti Abdurrahman,
  • Ummu Abdillah binti Syalil,
  • Hindun binti Suhail,
  • Aisyah as-Syaibaniyah,
  • Ummu Kultsum bin al-Fadhl,
  • wanita dari Bani `Amr,
  • wanita putri dari Ilqimah bin Zurarah,
  • wanita dari bani Syaiban,
  • wanita dari kalangan Tsaqîf, dan
  • Ummu Qāsim (konon namanya Nafilah atau Ramlah).

As-Shullābi berpandangan bahwa total keseluruhan isteri yang pernah dinikahi beliau berkisaran belasan, sesuai nama-nama yang terekam dalam sejarah, ataupun jika lebih, tidak akan lebih banyak seperti yang dituduhkan beberapa penulis sejarah lainnya. 

Penulis: Buhori, M.Pd (Dosen IAIN Pontianak dan Aktivis NU Kalbar)
Editor: Baldan

Redaksi